Feeds:
Pos
Komentar

Archive for Oktober, 2009

A.      Persyaratan

Penetapan jabatan fungsional Guru Bukan Pegawai Negeri Sipil dan angka kreditnya, bukan sebatas untuk memberikan tunjangan profesi bagi mereka, namun lebih jauh adalah untuk menetapkan kesetaraan jabatan, pangkat/golongan yang sesuai dengan ketentuan yang berlaku sekailgus demi tertib administrasi Guru Bukan Pegawai Negeri Sipil. Atas dasar itu, Guru Bukan Pegawai Negeri Sipil yang dapat ditetapkan Jabatan Fungsional dan Angka Kreditnya adalah:

  1. Guru tetap yang mengajar pada satuan pendidikan, TK/TKLB/RA/BA atau yang sederajat; SD/SDLB/MI atau yang sederajat; SMP/SMPLB/MTs atau yang sederajat; dan SMA/ SMK/ SMALB/ MA/ MAK atau yang sederajat, yang telah memiliki izin operasional dari Dinas Pendidikan Kabupaten/ Kota atau Dinas Pendidikan Provinsi setempat.

Guru dimaksud adalah guru yang diangkat oleh yayasan/masyarakat penyelenggara pendidikan.

  1. Kualifikasi akademik minimal S-1/D-IV
  2. Masa kerja sebagai guru sekurang-kurangnya 2 (dua) tahun berturut-turut pada satmingkal yang sama.
  3. Usia setinggi-tingginya 59 tahun pada saat diusulkan.
  4. Telah memiliki NUPTK yang dikeluarkan oleh Direktorat Jenderal Peningkatan Mutu Pendidik dan Tenaga Kependidikan Departemen Pendidikan Nasional.
  5. Melampirkan syarat-syarat administratif :
    1. Salinan/fotokopi sah surat keputusan tentang pengangkatan atau penugasan sebagai guru tetap yang ditandatangani oleh yayasan/ penyelenggara satuan pendidikan yang mempunyai izin operasional tempat satuan administrasi pangkal (satmingkal) guru yang bersangkutan.
    2. Salinan atau fotokopi ijazah terakhir yang disahkan oleh pejabat yang berwenang sesuai ketentuan yang berlaku (Perguruan Tinggi/Lembaga Pendidik dan Tenaga Kependidikan yang menerbitkan ijasah dimaksud).
    3. Surat keterangan asli dari kepala sekolah/madrasah bahwa yang bersangkutan melakukan kegiatan proses pembelajaran/ pembimbingan pada satmingkal guru yang bersangkutan.
    4. Fotokopi Akta IV atau Sertifikat Pendidik yang dilegalisasi oleh pejabat yang berwenang (Perguruan Tinggi/Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan yang menerbitkan) atau Kepala Dinas Pendidikan Kabupaten/Kota/Provinsi setempat.
    5. Fotokopi Keputusan Kepala Sekolah/Madrasah tentang pembagian tugas mengajar sekurang-kurangnya 24 jam pelajaran perminggu bagi guru kelas dan guru mata pelajaran atau jumlah siswa yang dibimbiung oleh guru Bimbingan dan Penyuluhan dan dilegalisasi oleh pejabat Dinas Pendidikan Kabupaten/Kota/Provinsi setempat.
    6. Fotokopi Keputusan Pengangkatan sebagai Kepala Sekolah atau wakil kepala sekolah dan dilegalisasi oleh pejabat Dinas Pendidikian Kabupaten/Kota/Provinsi setempat.

 

B.      Prosedur Pengusulan

Prosedur pengusulan Inpassing Jabatan Fungsional Guru Bukan Pegawai Negeri Sipil dan Angka Kreditnya adalah sebagai berikut:

  1. Kepala sekolah/madrasah jenjang TK/RA/BA, SD/MI, SMP/MTs, SMA/SMK/MA/MAK atau yang sederajat, meneliti kelengkapan administratif dan keabsahan bukti fisik yang diusulkan oleh Guru Bukan Pegawai Negeri Sipil dan atas persetujuan yayasan/penyelenggara pendidikan, dan  mengusulkannya ke Dinas Pendidikan Kabupaten/Kota, dengan menggunakan Format 1 (Lampiran 1).
  2. Kepala sekolah/madrasah jenjang TKLB, SDLB, SMPLB, dan SMALB atau yang sederajat meneliti kelengkapan administratif dan keabsahan bukti fisik yang diusulkan oleh Guru Bukan Pegawai Negeri Sipil atas persetujuan yayasan/ penyelenggara pendidikan, dan mengusulkannya ke Dinas Pendidikan  Provinsi, dengan menggunakan Format 1 (Lampiran 1).
  3. Kepala Dinas Pendidikan Kabupaten/Kota meneliti kelengkapan administratif dan keabsahan bukti fisik yang diusulkan oleh kepala sekolah seperti tersebut pada butir 1 (satu) dan mengusulkannya kepada Menteri Pendidikan Nasional melalui Direktur Jenderal Peningkatan Mutu Pendidik dan Tenaga Kependidikan u.b. Direktur Profesi Pendidik dengan menggunakan Format 2 (Lampiran 2).
  4. Kepala Dinas Pendidikan Provinsi meneliti kelengkapan administratif dan keabsahan bukti fisik yang diusulkan oleh kepala sekolah seperti tersebut pada butir 2 (dua) dan mengusulkannya kepada Menteri Pendidikan Nasional melalui Direktur Jenderal Peningkatan Mutu Pendidik dan Tenaga Kependidikan u.b. Direktur Profesi  Pendidik  dengan  menggunakan  Format 2  (Lampiran 2).
  5. Direktorat Profesi Pendidik meneliti dan menilai kelengkapan administrasi dan keabsahan bukti fisik yang diusulkan oleh Dinas Pendidikan Kabupaten/Kota dan/atau Dinas Pendidikan Provinsi. Selanjutnya Direktorat Profesi berdasarkan hasil penilaian mengusulkan ke Menteri Pendidikan Nasional melalui Kepala Biro Kepegawaian untuk ditetapkan Jabatan Fungsional Guru Bukan Pegawai Negeri Sipil dan Angka Kreditnya, dengan menggunakan Format  3  (Lampiran 3).
  6. Kepala Biro Kepegawaian meneliti hasil penilaian kelengkapan administrasi dan keabsahan bukti fisik usulan penetapan inpassing dari Direktur Profesi Pendidik untuk ditetapkan Inpassing Jabatan Fungsional Guru Bukan Pegawai Negeri Sipil dan Angka Kreditnya, dengan menggunakan Format 4 (Lampiran 4).

 

C.      Dasar dan Tatacara Penetapan

  1. Inpassing Jabatan Fungsional Guru Bukan Pegawai Negeri Sipil dan Angka Kreditnya ditetapkan berdasarkan dua hal, yaitu:
    1. Kualifikasi akademik.
    2. Masa kerja, dihitung mulai dari pengangkatan atau penugasan sebagai Guru Bukan Pegawai Negeri Sipil pada satuan pendidikan.
  2. Inpassing Jabatan Fungsional Guru Bukan Pegawai Negeri Sipil dan Angka Kreditnya dilakukan dengan menggunakan tata cara sebagai berikut:
    1. Meneliti kelengkapan persyaratan penetapan Inpasing Jabatan Fungsional Guru Bukan Pegawai Negeri Sipil dan Angka Kreditnya.
    2. Menghitung masa kerja guru bukan Pegawai Negeri Sipil yang bersangkutan, terhitung sejak diangkat sebagai guru tetap pada satuan pendidikan yang diselenggarakan oleh pemerintah, pemerintah daerah dan yayasan/masyarakat penyelenggara pendidikan.
    3. Masa kerja guru bukan Pegawai Negeri Sipil diperhitungkan dengan satuan tahun penuh. Misalnya, guru bukan Pegawai Negeri Sipil dengan masa kerja 10 tahun 11 bulan, dihitung 10 tahun.
    4. Kelebihan masa kerja 11 bulan diperhitungkan untuk kesetaraan kenaikan gaji berkala berikutnya.
    5. Berdasarkan kualifikasi akademik dan masa kerja guru yang bersangkutan, ditetapkan jenjang jabatan fungsional guru tersebut dengan menggunakan tabel konversi pada Lampiran 5.
    6. Contoh penetapan jenjang jabatan fungsional guru bukan Pegawai Negeri Sipil dan Angka Kreditnya disajikan pada Lampiran 4.
    7. Dengan memperhatikan kualifikasi akademik dan masa kerja guru bukan Pegawai Negeri Sipil yang bersangkutan, ditetapkan Jenjang Jabatan Fungsional Guru Bukan Pegawai Negeri Sipil dan Angka Kreditnya menggunakan Format 4 (Lampiran 4).

D.  Jenjang Jabatan Fungsional

  1. Guru merupakan tenaga profesional yang menurut Undang Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen harus memiliki kualifikasi akademik minimal S-1 atau D-IV. Pegawai Negeri Sipil dengan kualifikasi akademik S-1 dengan masa kerja 0 tahun, menurut Keputusan Menteri Pemberdayaan Aparatur Negara Nomor 84/1993 memiliki jabatan funsional Guru Madya dengan golongan/ruang III/a. Di samping itu Guru Pegawai Negeri Sipil dengan golongan/ruang IV/a yang akan mengusulkan naik pangkat ke IV/b dipersyaratkan memenuhi 12 point angka kredit pengembangan profesi. Pada umumnya Guru Pegawai Negeri Sipil tertahan di golongan/ruang IV/a karena kesulitan memenuhi 12 point angka kredit pengembangan profesi. Dalam rangka kesetaraan jabatan fungsional dan golongan/ruang Guru Bukan Pegawai Negeri Sipil dengan Guru Pegawai Negeri Sipil, maka jenjang jabatan fungsional Guru Bukan Pegawai Negeri Sipil hasil inpassing minimal Guru Madya dan maksimal Guru Pembina. Jadi jenjang jabatan fungsional Guru Bukan Pegawai Negeri Sipil hasil inpassing adalah: Guru Madya, Guru Madya Tk.I, Guru Dewasa, Guru Dewasa Tk.I, atau Guru Pembina.
  2. Angka kredit kumulatif terendah hasil inpassing yang diperoleh guru bukan Pegawai Negeri Sipil adalah 100.
  3. Bagi guru bukan Pegawai Negeri Sipil yang bidang tugasnya tidak sesuai dengan latar belakang pendidikannya (mismatch), maka angka kredit hasil inpassing berdasarkan kualifikasi akademik dan masa kerja dikurangi 25 point angka kredit.
  4. Bagi guru bukan Pegawai Negeri Sipil yang berasal dari non LPTK dan tidak memiliki Akta mengajar, maka angka kredit hasil inpassing berdasarkan kualifikasi akademik dan masa kerja dikurangi 25 point angka kredit.

Read Full Post »

Budaya Organisasi

Pendahuluan

Sebagian para ahli seperti Stephen P. Robbins, Gary Dessler (1992) dalam bukunya yang berjudul “Organizational Theory” (1990), memasukan budaya organisasi kedalam teori organisasi. Sementara Budaya perusahaan merupakan aplikasi dari budaya organisasi dan apabila diterapkan dilingkungan manajemen akan melahirkan budaya manajemen. Budaya organisasi dengan budaya perusahan sering disalingtukarkan sehingga terkadang dianggap sama, padahal berbeda dalam penerapannya.

Kita tinjau Pengertian budaya itu sendiri menurut : “The International Encyclopedia of the Social Science” (1972) dpat dilihat menurut dua pendekatan yaitu pendekatan proses (process-pattern theory, culture pattern as basic) didukung oleh Franz Boas (1858-1942) dan Alfred Louis Kroeber (1876-1960). Bisa juga melalui pendekatan structural-fungsional (structural-functional theory, social structure as abasic) yang dikembangkan oleh Bonislaw Mallllinowski (1884-1942) dan Radclife-Brown yang kemudians dari dua pendekatan itu Edward Burnett Tylor (1832-1917 secara luas mendefinisikan budaya sebagai :”…culture or civilization, taken in its wide ethnographic ense, is that complex whole wich includes knowledge,belief, art, morals, law, custom and any other capabilities and habits acquired by man as a memmmber of society atau Budaya juga dapat diartikan sebagai : “Seluruh sistem gagasan dan rasa, tindakan serta karya yang dihasilkan manusia dalam kehidupan bermasyarakat yang dijadikan miliknya melalui proses belajar(Koentjaraningrat, 2001: 72 ) sesuai dengan kekhasan etnik, profesi dan kedaerahan”(Danim, 2003:148).

Akan tetapi dalam kehidupan sehari-hari kita lebih memahami budaya dari sudut sosiologi dan ilmu budaya, padahal ternyata ilmu budaya bisa mempengaruhi terhadap perkembangan ilmu lainnya seperti ilmu Manajemen Sumber Daya Manusia (SDM). Sehingga ada beberapa istilah lain dari istilah budaya seperti budaya organisasi (organization culture) atau budaya kerja (work culture) ataupun biasa lebih dikenal lebih spesifik lagi dengan istilah budaya perusahaan (corporate culture). Sedangkan dalam dunia pendidikan dikenal dengan istilah kultur pembelajaran sekolah (school learning culture) atau Kultur akademis (Academic culture)

Dalam dunia pendidikan mengistilahkan budaya organisasi dengan istilah Kultur akademis yang pada intinya mengatur para pendidik agar mereka memahami bagaimana seharusnya bersikap terhadap profesinya, beradaptasi terhadap rekan kerja dan lingkungan kerjanya serta berlaku reaktif terhadap kebijakan pimpinannya, sehingga terbentuklah sebuah sistem nilai, kebiasaan (habits), citra akademis, ethos kerja yang terinternalisasikan dalam kehidupannya sehingga mendorong adanya apresiasi dirinya terhadap peningkatan prestasi kerja baik terbentuk oleh lingkungan organisasi itu sendiri maupun dikuatkan secara organisatoris oleh pimpinan akademis yang mengeluarkan sebuah kebijakan yang diterima ketika seseorang masuk organisasi tersebut.

Fungsi pimpinan sebagai pembentuk Kultur akademis diungkapkan oleh Peter, Dobin dan Johnson (1996) bahwa :

Para pimpinan sekolah khususnya dalam kapasitasnya menjalankan fungsinya sangat berperan penting dalam dua hal yaitu : a). Mengkonsepsitualisasikan visi dan perubahan dan b). Memiliki pengetahuan, keterampilan dan pemahaman untuk mengtransformasikan visi menjadi etos dan kultur akademis kedalam aksi riil (Danim, Ibid., P.74).

Jadi terbentuknya Kultur akademis bisa dicapai melalui proses tranformasi dan perubahan tersebut sebagai metamorfosis institusi akademis menuju kultur akademis yang ideal. Budaya itu sendiri masuk dan terbentuk dalam pribadi seorang dosen itu melalui adanya adaptasi dengan lingkungan, pembiasaan tatanan yang sudah ada dalam etika pendidikan ataupun dengan membawa sistem nilai sebelumnya yang kemudian masuk dan diterima oleh institusi tersebut yang akhirnya terbentuklah sebuah budaya akademis dalam sebuah organisasi.

Pola pembiasaan dalam sebuah budaya sebagai sebuah nilai yang diakuinya bisa membentuk sebuah pola prilaku dalam hal ini Ferdinand Tonnies membagi kebiasaan kedalam beberapa pengertian antara lain :

a) Kebiasaan sebagai suatu kenyataan objektif sehari-hari yang merupakan sebuah kelajiman baik dalam sikap maupun dalam penampilan sehari-hari. Seorang pendidik sebagai profesionalis biasa berpenampilan rapi, berdasi dan berkemeja dan bersikap formal, sangat lain dengan melihat penampilan dosen institut seni yang melawan patokan formal yang berlaku didunia pendidikan dengan berpakaian kaos dan berambut panjang.

b) Kebiasaan sebagai Kaidah yang diciptakan dirinya sendiri yaitu kebiasaan yang lahir dari diri pendidik itu sendiri yang kemudian menjadi ciri khas yang membedakan dengan yang lainnya.

c) Kebiasaan sebagai perwujudan kemauan untuk berbuat sesuatu yaitu kebiasaan yang lahir dari motivasi dan inisatif yang mencerminkan adanya prestasi pribadi.

( Soekanto, loc.cit, P. 174)

Pengertian budaya yang penulis teliti lebih banyak berhubungan dengan kepribadian dan sikap dosen dalam menyikapi pekerjaannya (profesionality), rekan kerjanya, kepemimpinan dan peningkatan karakter internal (maturity character) terhadap lembaganya baik dilihat dari sudut psikologis maupun sudut biologis seseorang. Dimana budaya akademis secara aplikatif dapat dilihat ketika para anggota civitas akademika sudah mempraktikan seluruh nilai dan sistem yang berlaku di perguruan tinggi dalam pribadinya secara konsisten.

Budaya dan kepribadian

Oleh karena budaya secara individu itu berkorelasi dengan kepribadian, sehingga budaya berhubungan dengan pola prilaku seseorang ketika berhadapan dengan sebuah masalah hidup dan sikap terhadap pekerjaanya. Didalamnya ada sikap reaktif seorang pendidik terhadap perubahan kebijakan pemerintah dalam otonomi kampus sebagaimana yang terjadi, dimana dengan adanya komersialisasi kampus bisakah berpengaruh terhadap perubahan kultur akademis penididik dalam sehari-harinya.

Dilihat dari unsur perbedaan budaya juga menyangkut ciri khas yang membedakan antara individu yang satu dengan individu yang lain ataupun yang membedakaan antara profesi yang satu dengan profesi yang lain. Seperti perbedaan budaya seorang dokter dengan seorang dosen, seorang akuntan dengan seorang spesialis, seorang professional dengan seorang amatiran.

Ciri khas ini bisa diambil dari hasil internalisasi individu dalam organisasi ataupun juga sebagai hasil adopsi dari organisasi yang mempengaruhi pencitraan sehingga dianggap sebagai kultur sendiri yang ternyata pengertiannya masih relatif dan bersifat abstrak. Kita lihat pengertian budaya yang diungkapkan oleh Prof. Dr. Soerjono Soekanto mendefinisikan budaya sebagai : “Sebuah system nilai yang dianut seseorang pendukung budaya tersebut yang mencakup konsepsi abstrak tentang baik dan buruk. atau secara institusi nilai yang dianut oleh suatu organisasi yang diadopsi dari organisasi lain baik melalui reinventing maupun re-organizing”(Ibid, Soerjono Soekanto, P. 174)

Budaya juga tercipta karena adanya adopsi dari organisasi lainnya baik nilai, jargon, visi dan misi maupun pola hidup dan citra organisasi yang dimanefestasikan oleh anggotanya. Seorang pendidik sebagai pelaku organisasi jelas berperan sangat penting dalam pencitraan kampus jauh lebih cepat karena secara langsung berhadapan dengan mahasiswa yang bertindak sebagai promotor pencitraan di masyarakat sementara nilai pencitraan sebuah organisasi diambil melalui adanya pembaharuan maupun pola reduksi langsung dari organisasi sejenis yang berpengaruh dalam dunia pendidikan.

Sebuah nilai budaya yang merupakan sebuah sistem bisa menjadi sebuah asumsi dasar sebuah organisasi untuk bergerak didalam meningkatkan sebuah kinerjanya yang salah satunya terbentuknya budaya yang kuat yang bisa mempengaruhi. McKenna dan Beech berpendapat bahwa : „Budaya yang kuat mendasari aspek kunci pelaksaan fungsi organisasi dalam hal efisiensi, inovasi, kualitas serta mendukung reaksi yang tepat untuk membiasakan mereka terhadap kejadian-kejadian, karena etos yang berlaku mengakomodasikan ketahanan“( McKenna, etal, Terj. Toto Budi Santoso , 2002: 19)

Sedang menurut Talizuduhu Ndraha mengungkapkan bahwa “Budaya kuat juga bisa dimaknakan sebagai budaya yang dipegang secara intensif, secara luas dianut dan semakin jelas disosialisasikan dan diwariskan dan berpengaruh terhadap lingkungan dan prilaku manusia“( Ndraha, 2003:123).

Budaya yang kuat akan mendukung terciptanya sebuah prestasi yang positif bagi anggotanya dalam hal ini budaya yang diinternalisasikan pihak pimpinan akan berpengaruh terhadap sistem prilaku para pendidik dan staf dibawahnya baik didalam organisasi maupun diluar organisasi.

Sekali lagi kalau Budaya hanya sebuah asumsi penting yang terkadang jarang diungkapkan secara resmi tetapi sudah teradopsi dari masukan internal anggota organisasi lainnya. Vijay Sathe mendefinisikan budaya sebagai “The sets of important assumption (opten unstated) that member of a community share in common” ( Sathe, 1985: 18) Begitu juga budaya sebagai sebuah asumsi dasar dalam pembentukan karakter individu baik dalam beradaptasi keluar maupun berintegrasi kedalam organisasi lebih luas diungkapkan oleh Edgar H. Schein bahwa budaya bisa didefinisikan sebagai :

A pattern of share basic assumption that the group learner as it solved its problems of external adaptation anda internal integration, that has worked well enough to be considered valid and therefore, to be taught to new members as the correct way to perceive, think and feel in relation to these problems”.
( Schein
, 1992:16)

Secara lengkap Budaya bisa merupakan nilai, konsep, kebiasaan, perasaan yang diambil dari asumsi dasar sebuah organiasasi yang kemudian diinternalisasikan oleh anggotanya. Bisa berupa prilaku langsung apabila menghadapi permasalahan maupun berupa karakter khas yang merupakan sebuah citra akademik yang bisa mendukung rasa bangga terhadap profesi dirinya sebagai dosen, perasaan memiliki dan ikut menerapkan seluruh kebijakan pimpinan dalam pola komunikasi dengan lingkungannya internal dan eksternal belajar. Lingkungan pembelajaran itu sendiri mendukung terhadap pencitraan diluar organisasi, sehingga dapat terlihat sebuah budaya akan mempengaruhi terhadap maju mundurnya sebuah organisasi. Seorang professional yang berkarakter dan kuat kulturnya akan meningkatkan kinerjanya dalam organisasi dan secara sekaligus meningkatkan citra dirinya.

Organisasi dan budaya

Membahas budaya, jelas tidak bisa lepas dari pengertian organisasi itu sendiri dan dapat kita lihat beberapa pendapat tentang organisasi yang salah satunya diungkapkan Stephen P. Robbins yang mendefinisikan organisasi sebagai “…A consciously coordinated social entity, with a relatively identifiable boundary that function or relatively continous basis to achieve a common goal or set of goal”. ( Robbins, 1990: 4) Sedangkan Waren B. Brown dan Dennis J. Moberg mendefinisikan organisasi sebagai “…. A relatively permanent social entities characterized by goal oriented behavior, specialization and structure“(Brown,etal,1980:6) Begitu juga pendapat dari Chester I. Bernard dari kutipan Etzioni dimana organisasi diartikan sebagai “Cooperation of two or more persons, a system of conciously coordinated personell activities or forces“( Etzioni, 1961:14.)

Sehingga organisasi diatas pada dasarnya apabila dilihat dari bentuknya, organisasi merupakan sebuah masukan (input) dan luaran (output) serta bisa juga dilihat sebagai living organism yang memiliki tubuh dan kepribadian, sehingga terkadang sebuah organisasi bisa dalam kondisi sakit (when an organization gets sick). Sehingga organisasi dianggap Sebagai suatu output (luaran) memiliki sebuah struktur (aspek anatomic), pola kehidupan (aspek fisiologis) dan system budaya (aspek kultur) yang berlaku dan ditaati oleh anggotanya.

Dari pengertian Organisasi sebagai output (luaran) inilah melahirkan istilah budaya organisasi atau budaya kerja ataupun lebih dikenal didunia pendidikan sebagai budaya akademis. Untuk lebih menyesuaikan dengan spesifikasi penelitian penulis mengistilahkan budaya organisasi dengan istilah budaya akademis.

Menurut Umar Nimran mendefinisikan budaya organisasi sebagai “Suatu sistem makna yang dimiliki bersama oleh suatu organisasi yang membedakannya dengan organisasi lain”(Umar Nimran, 1996: 11)

Sedangkan Griffin dan Ebbert (Ibid, 1996:11) dari kutipan Umar Nimran Budaya organisasi atau bisa diartikan sebagai “Pengalaman, sejarah, keyakinan dan norma-norma bersama yang menjadi ciri perusahaan/organisasi” Sementara Taliziduhu Ndraha Mengartikan Budaya organisasi sebagai “Potret atau rekaman hasil proses budaya yang berlangsung dalam suatu organisasi atau perusahaan pada saat ini”( op.cit , Ndraha, P. 102) Lebih luas lagi definisi yang diungkapkan oleh Piti Sithi-Amnuai (1989) dalam bukunya “How to built a corporate culture” mengartikan budaya organisasi sebagai :

A set of basic assumption and beliefs that are shared by members of an organization, being developed as they learn to cope with problems of external adaptation and internal integration.( Pithi Amnuai dari kutipan Ndraha, p.102)

(Seperangkat asumsi dan keyakinan dasar yang dterima anggota dari sebuah organisasi yang dikembangkan melalui proses belajar dari masalah penyesuaian dari luar dan integarasi dari dalam)

Hal yang sama diungkapkan oleh Edgar H. Schein (1992) dalam bukunya “Organizational Culture and Leadershif” mangartikan budaya organisasi lebih luas sebagai :

” …A patern of shared basic assumptions that the group learned as it solved its problems of external adaptation and internal integration, that has worked well enough to be considered valid and, therefore, to be taught to new members as the correct way to perceive, think and feel in relation to these problems.( loc.cit, Schein, P.16)

(“… Suatu pola sumsi dasar yang ditemukan, digali dan dikembangkan oleh sekelompok orang sebagai pengalaman memecahkan permasalahan, penyesuaian terhadap faktor ekstern maupun integrasi intern yang berjalan dengan penuh makna, sehingga perlu untuk diajarkan kepada para anggota baru agar mereka mempunyai persepsi, pemikiran maupun perasaan yang tepat dalam mengahdapi problema organisasi tersebut).

Sedangkan menurut Moorhead dan Griffin (1992) budaya organisasi diartikan sebagai :

Seperangkat nilai yang diterima selalu benar, yang membantu seseorang dalam organisasi untuk memahami tindakan-tindakan mana yang dapat diterima dan tindakan mana yang tidak dapat diterima dan nilai-nilai tersebut dikomunikasikan melalui cerita dan cara-cara simbolis lainnya(McKenna,etal, op.cit P.63).

Amnuai (1989) membatasi pengertian budaya organisasi sebagai pola asumsi dasar dan keyakinan yang dianut oleh anggota sebuah organisasi dari hasil proses belajar adaptasi terhadap permasalahan ekternal dan integrasi permasalahan internal.

Organisasi memiliki kultur melalui proses belajar, pewarisan, hasil adaptasi dan pembuktian terhadap nilai yang dianut atau diistilahkan Schein (1992) dengan considered valid yaitu nilai yang terbukti manfaatnya. selain itu juga bisa melalui sikap kepemimpinan sebagai teaching by example atau menurut Amnuai (1989) sebagai “through the leader him or herself” yaitu pendirian, sikap dan prilaku nyata bukan sekedar ucapan, pesona ataupun kharisma.

Dari pengertian diatas bisa disimpulkan bahwa budaya organisasi diartikan sebagai kristalisasi dari nilai-nilai serta merupakan kepercayaan maupun harapan bersama para anggota organisasi dalam hal ini dosen di STIMIK Bani Saleh yang diajarkan dari generasi yang satu kegenerasi yang lain dimana didalamnya ada perumusan norma yang disepakati para anggota organisasi, mempunyai asumsi, persepsi atau pandangan yang sama dalam menghadapi berbagai permasalahan dalam organisasi.

Hal-hal yang mempengaruhi budaya organisasi

Menurut Piti Sithi-Amnuai bahwa : “being developed as they learn to cope with problems of external adaptation anda internal integration (Pembentukan budaya organisasi terjadi tatkala anggota organisasi belajar menghadapi masalah, baik masalah-masalah yang menyangkut perubahan eksternal maupun masalah internal yang menyangkut persatuan dan keutuhan organisasi).( Opcit Ndraha, P.76).

Pembentukan budaya akademisi dalam organisasi diawali oleh para pendiri (founder) institusi melalui tahapan-tahapan sebagai berikut :

1. Seseorang mempunyai gagasan untuk mendirikan organisasi.

2. Ia menggali dan mengarahkan sumber-sumber baik orang yang sepaham dan setujuan dengan dia (SDM), biaya dan teknologi.

3. Mereka meletakan dasar organisasi berupa susunan organisasi dan tata kerja.

Menurut Vijay Sathe dengan melihat asumsi dasar yang diterapkan dalam suatu organisasi yang membagi “Sharing Assumption”( loc.cit Vijay Sathe, p. 18) Sharing berarti berbagi nilai yang sama atau nilai yang sama dianut oleh sebanyak mungkin warga organisasi. Asumsi nilai yang berlaku sama ini dianggap sebagai faktor-faktor yang membentuk budaya organisasi yang dapat dibagi menjadi :

a). Share thing, misalnya pakaian seragam seperti pakaian Korpri untuk PNS, batik PGRI yang menjadi ciri khas organisasi tersebut.

b). Share saying, misalnya ungkapan-ungkapan bersayap, ungkapan slogan, pemeo seprti didunia pendidikan terdapat istilah Tut wuri handayani, Baldatun thoyibatun wa robbun ghoffur diperguruan muhammadiyah.

c). Share doing, misalnya pertemuan, kerja bakti, kegiatan sosial sebagai bentuk aktifitas rutin yang menjadi ciri khas suatu organisasi seperti istilah mapalus di Sulawesi, nguopin di Bali.

d). Share feeling, turut bela sungkawa, aniversary, ucapan selamat, acara wisuda mahasiswa dan lain sebagainya.

Sedangkan menurut pendapat dari Dr. Bennet Silalahi bahwa budaya organisasi harus diarahkan pada penciptaan nilai (Values) yang pada intinya faktor yang terkandung dalam budaya organisasi.( Silalahi,2004:8) harus mencakup faktor-faktor antara lain : Keyakinan, Nilai, Norma, Gaya, Kredo dan Keyakinan terhadap kemampuan pekerja

Untuk mewujudkan tertanamnya budaya organisasi tersebut harus didahului oleh adanya integrasi atau kesatuan pandangan barulah pendekatan manajerial (Bennet, loc.cit, p.43) bisa dilaksanakan antara lain berupa :

a) Menciptakan bahasa yang sama dan warna konsep yang muncul.

b) Menentukan batas-batas antar kelompok.

c) Distribusi wewenang dan status.

d) Mengembangkan syariat, tharekat dan ma’rifat yang mendukung norma kebersamaan.

e) Menentukan imbalan dan ganjaran

f) Menjelaskan perbedaan agama dan ideologi.

Read Full Post »

Definisi organisasi.
Pengorganisasian menyatukan berbagai macam sumber daya dan mengatur orang-orang dengan teratur, selain mempersatukan oran-orang pada tugas yang saling berkaitan. Pengorganisasian berasal dari istilah organism yang merupakan sebuah entitas dengan bagian-bagian yang terintegrasi dimana hubungan mereka satu sama lain saling berkaitan secara utuh. Bisa juga diartikan sebagai sebuah tindakan yang mengupayakan hubungan prilaku efektif antara orang-orang yang dapat bekerjasama secara efisien sehingga memperoleh kepuasan pribadi dalam melaksanakan tugas tertentu dalam lingkungan tertentu untuk mencpai tujuan dans sasaran tertentu.

Pentingnya pengorganisasian.
Adanya pengorganisasian akan menyebabkan lahirnya sebuah struktur organisasisebagai wadah yang bisa menggabungkan setiap aktiftas dengan teratur. Salah satu tugas pengorganisasian adalah mengharmoniskan suatu kelompok orang-orang berbeda, memperemukan bermacam-macam kepentingan dan memanfaatkan fotensi individu anggota oragnisasi kedalam suatu tujuan yang telah disepakati bersama.

Otoritas dalam organisasi.
Otoritas bisa diartikan kekuasaan resmi dan legal untuk menyurh fihak laian bertindak dan taat kepada pihak yang meilikinya. ketaaatan lahir bisa melalui persuasi, sanksi-sanksi, permohonanan, paksaan dan kekuatan. otoritas juga berkaitan dengan kekuasaan sebagai suatu pengaruh yangkuat yang bersifat mengendalikan atas pengarahan prialku seseorang. otoritas juga bisa diterima oleh bawahan dengan alasan untuk mencapai persetujuan dan diterima oleh pekerja lainnya. untuk memberikan sumbangsih kepada suatu tujuan yang dianggap berfaedah, gunamenghindari diterapkannya tidandakan disipliner, agar tidnakan sesuai dengan standar-standar moral yang berlaku selain untuk memperoleh balas jasa.
Ada berbagai macam otoritas yaitu
a).Otoritas garis (line authority)
hubungan otoitas atasan-baahan, dimana seorang atasan mengambil keputusan dan memberitahukannya kepada seorang bawahan yang kemudian membuat keputsuan dan memberitahukannya kepada seorang bawahan lagi dan seterusnya membnetuk sebuah gars dari puncak sampai tingkatterbawah sebuah struktur organisasi.
b) otoritas staft
perkataan staf secara arfiah berarti sebuah tongkat yang dipegang untuk menunjang tubuh. maka oleh karenanya otoritas staf semuala berarti otoritas yang dipergunakan untuk menunjang otoritas garis. staf diartikan bantan dan ia tujukan untuk membantu fihak yang memiliki otoritas.

Read Full Post »

Dikaitkan dengan konsep ‘globalisasi”, maka Michael Hammer dan James Champy menuliskan bahwa ekonomi global berdampak terhadap 3 C, yaitu customer, competition, dan change. Pelanggan menjadi penentu, pesaing makin banyak, dan perubahan menjadi konstan. Tidak banyak orang yang suka akan perubahan, namun walau begitu perubahan tidak bisa dihindarkan. Harus dihadapi. Karena hakikatnya memang seperti itu maka diperlukan satu manajemen perubahan agar proses dan dampak dari perubahan tersebut mengarah pada titik positif.

Masalah dalam perubahan

Banyak masalah yang bisa terjadi ketika perubahan akan dilakukan. Masalah yang paling sering dan menonjol adalah “penolakan atas perubahan itu sendiri”. Istilah yang sangat populer dalam manajemen adalah resistensi perubahan (resistance to change). Penolakan atas perubahan tidak selalu negatif karena justru karena adanya penolakan tersebut maka perubahan tidak bisa dilakukan secara sembarangan.

Penolakan atas perubahan tidak selalu muncul dipermukaan dalam bentuk yang standar. Penolakan bisa jelas kelihatan (eksplisit) dan segera, misalnya mengajukan protes, mengancam mogok, demonstrasi, dan sejenisnya; atau bisa juga tersirat (implisit), dan lambat laun, misalnya loyalitas pada organisasi berkurang, motivasi kerja menurun, kesalahan kerja meningkat, tingkat absensi meningkat, dan lain sebagainya. Mengapa perubahan ditolak? Untuk keperluan analitis, dapat dikategorikan sumber penolakan atas perubahan, yaitu penolakan yang dilakukan oleh individual dan yang dilakukan oleh kelompok atau organisasional.

Resistensi Individual

Karena persoalan kepribadian, persepsi, dan kebutuhan, maka individu punya potensi sebagai sumber penolakan atas perubahan.

KEBIASAAN, Kebiasaan merupakan pola tingkah laku yang kita tampilkan secara berulang-ulang sepanjang hidup kita. Kita lakukan itu, karena kita merasa nyaman, menyenangkan. Bangun pukul 5 pagi, ke kantor pukul 7, bekerja, dan pulang pukul 4 sore. Istirahat, nonton TV, dan tidur pukul 10 malam. Begitu terus kita lakukan sehingga terbentuk satu pola kehidupan sehari-hari. Jika perubahan berpengaruh besar terhadap pola kehidupan tadi maka muncul mekanisme diri, yaitu penolakan.

RASA AMAN, Jika kondisi sekarang sudah memberikan rasa aman, dan kita memiliki kebutuhan akan rasa aman relatif tinggi, maka potensi menolak perubahan pun besar. Mengubah cara kerja padat karya ke padat modal memunculkan rasa tidak aman bagi para pegawai.

FAKTOR EKONOMI, Faktor lain sebagai sumber penolakan atas perubahan adalah soal menurun-nya pendapatan. Pegawai menolak konsep 5 hari kerja karena akan kehilangan upah lembur.

TAKUT AKAN SESUATU YANG TIDAK DIKETAHUI.Sebagian besar perubahan tidak mudah diprediksi hasilnya. Oleh karena itu muncul ketidak pastian dan keraguraguan. Kalau kondisi sekarang sudah pasti dan kondisi nanti setelah perubahan belum pasti, maka orang akan cenderung memilih kondisi sekarang dan menolak perubahan.

PERSEPSI, Persepsi cara pandang individu terhadap dunia sekitarnya. Cara pandang ini mempengaruhi sikap. Pada awalnya program keluarga berencana banyak ditolak oleh masyarakat, karena banyak yang memandang program ini bertentangan dengan ajaran agama, sehingga menimbulkan sikap negatif.

Resistensi Organisasional

Organisasi, pada hakekatnya memang konservatif. Secara aktif mereka menolak perubahan. Misalnya saja, organisasi pendidikan yang mengenal-kan doktrin keterbukaan dalam menghadapi tantangan ternyata merupakan lembaga yang paling sulit berubah. Sistem pendidikan yang sekarang berjalan di sekolah-sekolah hampir dipastikan relatif sama dengan apa yang terjadi dua puluh lima tahun yang lalu, atau bahkan lebih. Begitu pula sebagian besar organisasi bisnis. Terdapat enam sumber penolakan atas perubahan.

INERSIA STRUKTURAL, Artinya penolakan yang terstrukur. Organisasi, lengkap dengan tujuan, struktur, aturan main, uraian tugas, disiplin, dan lain sebagainya menghasil- kan stabilitas. Jika perubahan dilakukan, maka besar kemungkinan stabilitas terganggu.

FOKUS PERUBAHAN BERDAMPAK LUAS, Perubahan dalam organisasi tidak mungkin terjadi hanya difokuskan pada satu bagian saja karena organisasi merupakan suatu sistem. Jika satu bagian dubah maka bagian lain pun terpengaruh olehnya. Jika manajemen mengubah proses kerja dengan teknologi baru tanpa mengubah struktur organisasinya, maka perubahan sulit berjalan lancar.

INERSIA KELOMPOK KERJA, Walau ketika individu mau mengubah perilakunya, norma kelompok punya potensi untuk menghalanginya. Sebagai anggota serikat pekerja, walau sebagai pribadi kita setuju atas suatu perubahan, namun jika perubahan itu tidak sesuai dengan norma serikat kerja, maka dukungan individual menjadi lemah.

ANCAMAN TERHADAP KEAKHLIAN, Perubahan dalam pola organisasional bisa mengancam keakhlian kelompok kerja tertentu. Misalnya, penggunaan komputer untuk merancang suatu desain, mengancam kedudukan para juru gambar.

ANCAMAN TERHADAP HUBUNGAN KEKUASAAN YANG TELAH MAPAN, Mengintroduksi sistem pengambilan keputusan partisipatif seringkali bisa dipandang sebagai ancaman kewenangan para penyelia dan manajer tingkat menengah.

ANCAMAN TERHADAP ALOKASI SUMBERDAYA, Kelompok-kelompok dalam organisasi yang mengendalikan sumber daya dengan jumlah relatif besar sering melihat perubahan organisasi sebagai ancaman bagi mereka. Apakah perubahan akan mengurangi anggaran atau pegawai kelompok kerjanya?.

Taktik Mengatasi Penolakan Atas Perubahan

Coch dan French Jr. mengusulkan ada enam taktik yang bisa dipakai untuk mengatasi resistensi perubahan.

1. Pendidikan dan Komunikasi. Berikan penjelasan secara tuntas tentang latar belakang, tujuan, akibat, dari diadakannya perubahan kepada semua pihak. Komunikasikan dalam berbagai macam bentuk. Ceramah, diskusi, laporan, presentasi, dan bentuk-bentuk lainnya.

2. Partisipasi. Ajak serta semua pihak untuk mengambil keputusan. Pimpinan hanya bertindak sebagai fasilitator dan motivator. Biarkan anggota organisasi yang mengambil keputusan

3. Memberikan kemudahan dan dukungan. Jika pegawai takut atau cemas, lakukan konsultasi atau bahkan terapi. Beri pelatihan-pelatihan. Memang memakan waktu, namun akan mengurangi tingkat penolakan.

4. Negosiasi. Cara lain yang juga bisa dilakukan adalah melakukan negosiasi dengan pihak-pihak yang menentang perubahan. Cara ini bisa dilakukan jika yang menentang mempunyai kekuatan yang tidak kecil. Misalnya dengan serikat pekerja. Tawarkan alternatif yang bisa memenuhi keinginan mereka

5. Manipulasi dan Kooptasi. Manipulasi adalah menutupi kondisi yang sesungguhnya. Misalnya memlintir (twisting) fakta agar tampak lebih menarik, tidak mengutarakan hal yang negatif, sebarkan rumor, dan lain sebagainya. Kooptasi dilakukan dengan cara memberikan kedudukan penting kepada pimpinan penentang perubahan dalam mengambil keputusan.

6. Paksaan. Taktik terakhir adalah paksaan. Berikan ancaman dan jatuhkan hukuman bagi siapapun yang menentang dilakukannya perubahan.

Pendekatan dalam Manajemen Perubahan Organisasi

Pendekatan klasik yang dikemukaan oleh Kurt Lewin mencakup tiga langkah. Pertama : UNFREEZING the status quo, lalu MOVEMENT to the new state, dan ketiga REFREEZING the new change to make it permanent.

Selama proses perubahan terjadi terdapat kekuatan-kekuatan yang mendukung dan yang menolak . Melalui strategi yang dikemukakan oleh Kurt Lewin, kekuatan pendukung akan semakin banyak dan kekuatan penolak akan semakin sedikit.

Unfreezing : Upaya-upaya untuk mengatasi tekanan-tekanan dari kelompok penentang dan pendukung perubahan. Status quo dicairkan, biasanya kondisi yang sekarang berlangsung (status quo) diguncang sehingga orang merasa kurang nyaman.

Movement : Secara bertahap (step by step) tapi pasti, perubahan dilakukan. Jumlah penentang perubahan berkurang dan jumlah pendukung bertambah. Untuk mencapainya, hasil-hasil perubahan harus segera dirasakan.

Refreezing : Jika kondisi yang diinginkan telah tercapai, stabilkan melalui aturan-aturan baru, sistem kompensasi baru, dan cara pengelolaan organisasi yang baru lainnya. Jika berhasil maka jumlah penentang akan sangat berkurang, sedangkan jumlah pendudung makin bertambah.

Read Full Post »

Ada beberapa metode atau teknik penilaian hubungan mutu SDM dengan kinerja karyawan dapat digunakan antara lain dengan pendekatan daftar periksa dan metode pilihan yang dibuat. Pada setiap metode difokuskan pada hubungan faktor-faktor potensi individu karyawan (mutu SDM) dengan kinerjanya. Dalam praktiknya tidak ada satu pun teknik yang paling sempurna. Pasti ada saja keunggulan dan kelemahannya. Yang jauh lebih penting adalah bagaimana meminimumkan masalah-masalah yang mungkin didapat pada setiap teknik yang digunakan.

Metode daftar periksa mensyaratkan penilai untuk menyeleksi kata – kata atau pernyataan yang menggambarkan kinerja dan karakteristik karyawan. Metode ini dibuat sedemikian rupa dengan memberikan bobot tertentu pada setiap hal (item) yang terkait dengan derajat kepentingan dari item tersebut. Misalnya, yang menyangkut aspek-aspek kerajinan bekerja, memelihara alat – alat kantor dengan baik, kerja sama yang kooperatif, karyawan memiliki rencana kerja sampai derajat perhatian terhadap petunjuk yang diberikan atasan dalam kaitannya dengan pelaksanaan di lapangan, dan sebagainya. Total bobot mencapai 100, kemudian semuanya diperiksa untuk melihat total bobot setiap karyawan. Metode ini relatif praktis dan terstandar. Namun apabila banyak digunakan pernyataan-pernyataan bersifat umum akan mengurangi keterkaitannya dengan pekerkaan itu sendiri.

Keunggulan metode ini adalah murah, meringankan keruwetan administrasi, pelatihan bagi penilai berkurang, dan terstandarisasi. Kelemahan meliputi bias dari penilai dalam bentuk halo efek, penggunaan kriteria personaliti sebagai pengganti kriteria kinerja, kesalahan penafsiran terhadap tiap item dari daftar periksa, dan pengguna bobot yang kurang sesuai dari departemen SDM. Selain itu, pendekatan ini tidak membenarkan penilai memberi penilaian relatif.

Penilaian kinerja akan efektif apabila ada standar kinerja karyawan, dengan standar ini maka akan dapat dikembangkan kisi-kisi penilaian kinerja dengan kriteria tertentu yang mengacu pada standar kinerja. Standar kinerja berbeda dengan standar kompetensi karyawan. Standar kinerja hubungannya dengan deskripsi pekerjaan yang seharusnya dilakukan karyawan, tetapi standar kompetensi untuk melihatnya salah satunya harus melalui uji kompetensi.


//

//

// <![CDATA[

//configuration
OAS_url = 'http://cyclops.prod.untd.com/&#39;;
OAS_sitepage = 'webservices/general'; //CHANGED
OAS_listpos = 'Bottom';
OAS_query = '';
OAS_target = '_Blank';
//end of configuration
OAS_version = 10;
OAS_rn = '001234567890'; OAS_rns = '1234567890';
OAS_rn = new String (Math.random()); OAS_rns = OAS_rn.substring (2, 11);
function OAS_NORMAL(pos) {
document.write('‘);
document.write(‘
‘);
}
//
]]>// = 11)
document.write(”);
//
]]> // = 11) && (typeof OAS_RICH != ‘undefined’)) {
OAS_RICH(pos);
} else {
OAS_NORMAL(pos);
}
}
//
]]>

// //
//

Read Full Post »

Salah satu kunci penting memotivasi karyawan adalah menghindari tindakan-tindakan yang membunuh motivasi karyawan. Ini berarti, memotivasi karyawan tidak cukup hanya dengan mendorong karyawan berperilaku motivatif, tetapi juga menjaga diri anda, sebagai seorang manajer, untuk tidak melakukan sesuatu yang dapat mematahkan semangat karyawan. Sikap negatif anda dapat menghalangi sesuatu positif dari orang lain.

Ada banyak hal yang dapat mengendurkan motivasi karyawan. Yang terpenting berasal dari anda sendiri. Berikut beberapa tips beberapa tindakan yang perlu anda ingat-ingat, karena bila tidak, anda dapat menjatuhkan motivasi karyawan.

1. Jangan mengkritik karyawan di hadapan orang lain.

Ini adalah pembunuh motivasi nomor satu. Jangan permalukan karyawan di hadapan orang lain. Meski anda mengatakan sesuatu yang menurut anda benar, namun mengkritiknya di depan umum, dapat melukai perasaannya. Kritik anda dapat meninggalkan bekas luka dalam yang mengubah motivasi menjadi sakit hati dan dendam berkepanjangan.

2. Jangan menghina/merendahkan karyawan.

Melontarkan kata-kata seperti, “bodoh”, “goblok”, atau kata-kata penuh hinaan lain adalah tindakan yang harus dihindari jauh-jauh. Berhati-hatilah dengan perkataan anda. Jangan sepelekan orang lain. Mereka takkan melakukan sesuatu yang anda inginkan dengan baik jika anda sendiri menganggap mereka tidak becus.

3. Jangan menganggap karyawan sebagai alat.

Sebagai manajer, anda memang menggunakan orang lain untuk mencapai tujuan. Namun, jika anda bersikap seolah-olah memperalat karyawan demi tujuan anda sendiri, anda akan kehilangan simpati dan motivasi karyawan untuk mau bekerja pada anda. Libatkan karyawan pada tujuan bersama. Tunjukkan bahwa anda bersama mereka sedang mencapai tujuan demi keberhasilan bersama.

4. Jangan berlaku tidak adil.

Adalah wajar jika anda senang pada karyawan-karyawan terbaik anda. Namun itu bukan alasan untuk berlaku tidak adil. Perlakuan diskriminatif mudah sekali menjatuhkan semangat seluruh karyawan. Terlebih lagi bila anda tak sadar sedang “dijilat” oleh karyawan yang anda sukai.

5. Jangan hanya memikirkan diri sendiri.

Bagaimana perasaan anda saat mendengar atasan membanggakan dan memikirkan kepentingan dirinya sendiri. Anda mungkin merasa direndahkan secara tak langsung. Atau anda mungkin merasa atasan anda sedang mengambil keuntungan dari anda. Maka, itu pulalah yang dirasakan oleh karyawan anda jika anda hanya berpusat pada diri sendiri dan tak memberikan perhatian pada mereka.

6. Jangan ragu-ragu dalam mengambil keputusan.

Karyawan membutuhkan sebuah keputusan yang tegas, segera, namun bijaksana dari atasannya. Jika anda tampak bimbang dengan keputusan anda sendiri, karyawan akan merasa lebih bimbang lagi. Ini cepat sekali menjegal motivasi. Bukan hanya itu, mereka mungkin tak lagi mempercayai kemampuan diri mereka sendiri juga anda.

7. Jangan melemparkan tanggung jawab.

Tugas manajer adalah membimbing karyawan agar lebih baik dan berhasil. Salah satunya adalah dengan mendelegasikan wewenang. Tapi itu bukan berarti anda terlepas dari tanggung jawab atas tugas tersebut. Melemparkan tanggung jawab dapat meruntuhkan kepercayaan mereka pada anda sebagai seorang pemimpin. Di saat-saat sulit, tunjukkan tanggung jawab anda. Ini menumbuhkan hormat pada anda.

8. Jangan kaku, namun jangan turunkan standar kualitas anda.

Situasi tidak selalu berjalan sebagaimana diharapkan. Anda harus bersikap tegas, namun jangan diartikan sebagai sikap kaku. Terbuka dan terimalah masukan-masukan dari karyawan anda. Namun, anda tetap harus menjaga standar kualitas yang anda inginkan. Jika anda toleran terhadap sebuah kelemahan, anda menurunkan moral karyawan lain yang memiliki inisiatif tinggi.

9. Jangan menunjukkan ketidakpercayaan.

Kunci memotivasi orang adalah memberikan kepercayaan pada mereka. Sebaliknya, mematikan motivasi karyawan paling mudah dilakukan dengan mencabut kembali kepercayaan itu. Sepatah ucapan yang menunjukkan ketidakpercayaan sudah cukup untuk menyingkirkan motivasi mereka.

10. Jangan acuh tak acuh pada karyawan.

Jika anda ingin meruntuhkan motivasi karyawan, jangan berikan perhatian apa pun pada mereka. Jangan beri umpan balik. Jangan ingat kejadian-kejadian penting dalam hidup mereka. Jangan berikan waktu bagi mereka untuk berbincang-bincang. Jauh lebih mudah mematahkan semangat, ketimbang membangunnya. Untuk itu, hindari hal-hal yang bisa membunuh motivasi karyawan. Dan itu, berarti menjaga tindakan anda sendiri.

Read Full Post »

A. TUJUAN

     Setelah mengikuti perkuliahan, mahasiswa diharapkan mampu memahami dan mengkritisi asumsi-asumsi yuridis yang mendasari studi dan praktek pendidikan

 

B. DESKRIPSI MATERI KULIAH

1. Pengertian Landasan Yuridis Pendidikan  

     Landasan yuridis pendidikan Indonesia adalah  seperangkat konsep peraturan perundang-undangan yang menjadi titik tolak  system pendidikan Indonesia, yang menurut  Undang-Undang  Dasar 1945 meliputi, Undang-Undang Dasar Republik Indonesia, Ketetapan MPR, Undang-Undang Peraturan Pemerintah  pengganti undang-undang, peraturan pemerintah, Keputusan Presiden, peraturan pelaksanaan lainnya, seperti peraturan Menteri, Instruksi Menteri, dan lain-lain.

a. UUD 1945 sebagai Landasan Yuriidis Pendidikan Indonesia

b. Pancasila sebagai Landasan Idiil Sistem Pendidikan Indonesia

c. Pasal-Pasal  UUD 1945 sebagai Landasan Yuridis Pendidikan Indonesia

d. Ketetapan MPR sebagai Landasan Yuridis Pendidikan Nasional

e. Undang-Undang  sebagai Landasan Yuridis Pendidikan Nasional

1)   Latar Belakang Perlunya UU No. 2 th 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional

2) Ketentuan Umum Undang – Undang No 2 tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional

3) Satuan,  Jalur dan Jenis Pendidikan

4) Jenjang Pendidikan

f. Peraturan Pemerintah sebagai Landasan Yuridis Sistem Pendidikan Nasional

g. Keputusan Presiden sebagai Landasan Yuridis  Pelaksanaan Pendidikan Nasional

h. Keputusan Menteri sebagai Landasan Yuridis Pelaksanaan Pendidikan Nasional

i. Instruksi Menteri sebagai Landasan yuridis Pelaksanaan Pendidikan Nasional

Read Full Post »

A. TUJUAN

      Setelah mengikuti perkuliahan, mahasiswa diharapkan mampu memahami dan mengkritisi asumsi-asumsi social yang mendasari studi dan praktek pendidikan

 

B. DESKRIPSI MATERI KULIAH

1. Pola Kegiatan Sosial Pendidikan

            Ada tiga pola kegiatan social dalam pendidikan , yaitu  (a) Pola Nomothetis (The nomothetic style); (b) pola idiografis (the idiografic style), dan  (c) pola transaksional (the transactional style).

2.  Pola Nomothetis

Pola nomothetis lebih menekankan pada  dimensi tingkah laku yang bersifat normatif atau nomothetis, dengan demikian pendidikan lebih mengutamakan pada tuntutan-tuntutan instiitusi (pranata), peranan yang seharusnya (ascribed role) dan harapan-harapan atau cita-cita social, dari pada  tuntutan-tuntutan yang bersifat perorangan, kepribadian dan kebutuhan individu.  Dalam hal ini pendidikan dibataskan sebagai urusan mewariskan milik social kepada generasi muda, pendidikan adalah proses sosialisasi individu ( socialization of personality). Hal ini menimbulkan  aliran sosiologisme dalam pendidikan.

3.  Pola Idiografis

            Pola Idiografis lebih mnekankan pada dimesnsi tingkah laku  yang bersifat tuntuitan individual, kepribadian dan persorangan. Pendidikan dibataskan sebagai urusan membantu seseorang  mengembangkan kepribadiannya seoptimal mungkin. Pendidikan adalah personalisasi peranan ( personalization of role). Hal ini menumbuhkan Psikologisme dalam pendidikan atau developmentalisme.

4. Pola Transaksional          

Pola transaksional berusaha menjembatani antara pola nomothetis dan pola idiografis, hal ini berarti  menjembatani anatara tuntutan, harapan dan peranan social dengan tuntutan, kebutuhan  dan  individual. Pola transaksional memandang pendidikan sebagai sebuah sistem social  yang mengndung ciri-ciri  bahwa (1) setiap individu mengenali betul  tujuan system sehingga tujuan tersebut menjadi bagian dari kebutuhan dirinya, (2) setiap indiiviidu yakin bahwa harapan-harapan social yang dikenakan pada dirinya masuk akal untuk dapat dicapainya, dan (3) setiap individu merasa bahwa dia termasuk dalam sebuah kelompok dengan suasana emosional yang sama.

            Eric Berne dalam  bukunya “ Games people play” dan A. Harris dalam bukunya “ Iam O.K. You are O.K.. A Practical Guide to Transactional Analysis “ mengemukakan empat pola dasar hubungan transaksional, yaitu : (1) I am  not O.K. – You are O.K.; (2) I am  O.K. – You are not O.K.; (3) I am not O.K. – You are not O.K., (4)  I am O.K. – You are O.K.. Pola keempatlah  yang diharapkan menjadi dasar pola hubungan dalam pendidikan.

Read Full Post »

A. TUJUAN

      Setelah mengikuti perkuliahan, mahasiswa diharapkan mampu memahami dan mengkritisi asumsi-asumsi histories yang  mendasari pendidikan Indonesia

 

B. DESKRIPSI MATERI KULIAH

1. Kondisi sosial budaya  

     Landasan  Histories pendidikan Indonesia adalah  cita –cita dan praktek-praktek pendidikan masa lampau. Dilihat dari kondisi social budaya , pendidikan masa lampau  Indonesia dapat dikelompokkan menjadi tiga  tonggak sejarah, yaitu 

a. Pendidikan Tradisional , yaitu penyelenggaraan pendidikan di nusantara yang dipengaruhi oleh agama-agama besar di dunia  Hindu, Budha, Islam dan Nasrani  (katolik dan protestan)

b. Pendidikan kolonial Barat, yaitu penyelenggaraan pendidikan di nusantara yang dipengaruhi oleh pemerintahan kolonial barat, teutama kolonial Belanda

c. Pendidikan kolonial Jepang yaitu penyelenggaraan pendidikan di nusantara yang dipengaruhi oleh pemerintahan kolnial Jepang dalam zamanperang dunia II

2.  Implikasi Kondisi social  Budaya  terhadap Pendidikan

Kondisi social budaya dari ketiga tonggak sejarah pendidikan tersebut  mempunyai  implikasi terhadap penyelenggaraan pendidikannya dalam hal tujuan pendidikan, kurikulum /.isi pendidikan, metode pendidikan, dan pengelolaannya,  dan kesempatan pendidikan.

Read Full Post »

A. TUJUAN

Setelah mengikuti perkuliahan, mahasiswa diharapkan mampu memahami dan mengkritisi asumsi-asumsi sosiologis dan antropologis pendidikan.

 

B. DESKRIPSI MATERI

1. Individu, Masyarakat dan Kebudayaan

 

Individu adalah manusia perseorangan sebagai satu kesatuan yang tak dapat dibagi, unik, dan sebagai subjek otonom.

Masyarakat di definisikan Ralph Linton sebagai “setiap kelompok manusia yang telah hidup dan bekerjasama  cukup lama sehingga mereka dapat mengatur diri mereka sebagai satu kesatuan sosial dengan batas-batas yang dirumuskan dengan jelas”; sedangkan Selo Sumardjan mendefinisikan masyarakat sebagai “orang-orang yang hidup bersama, yang menghasilkan kebudayaan. Koentjaraningrat (1985)  mendefinisikan  kebudayaan sebagai “keseluruhan sistem gagasan, tindakan dan hasil karya manusia dalam rangka kehidupan masyarakat yang dijadikan milik diri manusia dengan belajar”.

 

Di dalam masyarakat terdapat struktur sosial, dan dalam struktur sosial tersebut setiap individu menduduki status dan peranan tertentu. Dalam rangka memenuhi kebutuhan atau untuk mencapai tujuannya, setiap indivdu maupun kelompok melakukan interaksi sosial, adapun dalam interaksi sosialnya mereka melakukan tindakan sosial. Tindakan sosial yang dilakukan individu hendaknya sesuai dengan status dan perananya yang mengacu pada sistem nilai dan norma yang berlaku di dalam masyarakat, atau secara umum  harus sesuai dengan kebudayaan masyarakatnya. Masyarakat menuntut demikian agar terjadi conformity. Jika tidak demikian halnya, idividu akan dipandang melakukan penyimpangan tingkah laku terhadap nilai dan norma masyarakat (deviant behavior).Terhadap individu demikian masyarakat akan melakukan social controll.

 

Manusia hakikatnya adalah makhluk bermasyarakat dan berbudaya, dan masyarakat menuntut setiap individu mampu hidup demikian. Namun karena manusia tidak secara otomatis mampu hidup bermasyarakat dan berbudaya, maka masyarakat melakukan pendidikan atau sosialisi (socialization) dan atau enkulturasi (enculturation). Dengan demikian diharapkan setiap individu mampu hidup bermasyarakat dan berbudaya sehingga tidak terjadi penyimpangan tingkah laku terhadap sistem nilai dan norma masyarakat.

 

2. Pendidikan, Masyarakat dan Kebudayaan

Individu maupun masyarakat sebagai suatu kesatuan individu-indi vidu mempunyai berbagai kebutuhan. untuk memenuhi berbagai kebutuhan tersebut masyarakat membangun atau mempunyai pranata sosial. Salah satu diantaranya adalah pranata pendidikan. Pendidikan merupakan pranata sosial yang berfungsi melaksanakan sosialisasi atau enkulturasi.

 

Terdapat hubungan antara pendidikan dengan masyarakat dan kebudayaannya. Kebudayaan menentukan arah, isi dan proses pendidikan (sosialisasi  atau enkulturasi). Sedangkan  pendidikan memilki fungsi konservasi dan atau fungsi kreasi (perubahan, inovasi) bagi masyarakat dan kebudayaannya.

 

Berbagai pandangan atau teori antropologi dan sosiologi  yang menggambarkan fungsi atau peranan pendidikan dalam hubungannya dengan masyarakat dan kebudayaannya antara lain:    pandangan Superorganik dan Konseptualis (antropologi); sedangkan teori sosiologis meliputi : teori Struktural Fungsional, Konflik, Interaksi Simbolik, dan teori Labeling.

Read Full Post »

A. TUJUAN

Setelah mengikuti perkuliahan, mahasiswa diharapkan mampu memahami dan mengkritisi asumsi-asumsi Psikologis  yang mendasari  studi dan praktek pendidikan.

 

B. DESKRIPSI MATERI

1. Pengertian Landasan Psikologis Pendidikan

     Landasan Psikologis pendidikan  adalah  asumsi-asumsi yang bersumber dari studi ilmiah dalam bidang psikologi  yang  menjadi sandaran, tumpuan  atau titik tolak  studi dan praktek pendidikan  Psikologi  merupakan ilmu yang mempelajari tingkah laku manusia dalam hubungannya dengan lingkungan. Psikologi pendidikan merupakan salah satu cabang ilmu pendidikan  yang dipengaruhi oleh perkembangan dan hasil-hasil penelitian psikologi, yang bertolak dari asumsi bahwa pendidikan ialah hal ihwal individu yang sedang belajar

 

2. Perkembangan individu dan implikasinya terhadap pendidikan

Dalam perjalanan hidupnya setiap individu mengalami perkembangan, yaitu  perubahan-perubahan yang teratur sejak dari pembuahan sampai mati. Perubahan pada indiividu dapat berbentuk  kematangan (maturation) dan  berbentuk belajar.  Kematanagn adalah perubahan  yang terjadi secara alami dan spontan tanpa dipengaruhi dari luar, sedangkan  belajar merupakan perubahan yang terjadi sebagai hasil dari  pengalaman atau latihan.  Sekurang-kurangnya ada tiga prinsip umum perkembangan individu, yaitu (1) perkembangan setiap  individu menunjukkan  perbedaan dalam kecepatan  dan irama; (2) perkembangan berlangsung relatif teratur, dan (3)  perkembangan berlangsung  berangsur secara bertahap. Setiap  tahap perkembangan  individu mempunyai tugas-tugas perkembangan (developmental task) yang harus diselesaikan oleh individu ( Robert Havigurst).

Berdasarkan perkembangan indiviidu,  tenaga kependidikan  memerlukan ilmu pendidikan  yang cocok dengan tingkat perkembangan usia.  Bagi anak-anak, pendidikan dikenal dengan istilah pedagogi yang berarti ilmu dan seni mengajar (membelajarkan) anak-anak (pedagogy is the science and arts of teaching children) (Knowles, 1977).  Bagi orang dewasa, pendidikan dikenal dengan istilah andragogi yaitu ilmu dan seni membantu orang dewasa belajar (andragogy is the science and arts of helping adults learn) (Cross, 1982).  Bagi lanjut usia, pendidikan dikenal dengan gerogogi yaitu ilmu dan seni untuk membantu manusia lanjut usia belajar (gerogogy is the science and arts of helping aging learn). 

Masing-masing ilmu pendidikan tersebut  dalam prakteknya memiliki  asumsi  dan karekateristik yang berbeda sesuai dengan tingkat perkembangan individu  yang menjadi peserta didiknya.

 

3. Teori belajar dan implikasinya terhadap pendidikan 

 

Salah  satu bentuk proses pendidikan adalah  interaksi belajar mengajar. Pola belajar mengajar antara lain dipengaruhi oleh  penampilan guru dalam mengajar, dan penampilan guru dalam mengajar  antara lain dipengaruhi  oleh pengetahuan guru tentang  mengajar yang  tidak lain adalah  teori belajar yang digunakan  guru .  Teori belajar telah banyak dikembangkan orang, namun dalam rangka pengenalan  teori belajar yang menjadi acuan pokok dapat  dikemukakan tiga kelompok  besar teori belajar yaitu  teori belajar kognivisme, teori belajar  behaviorisme dan teori belajar humanisme. Ketiga  teori belajar tersebut masing-masing memiliki  karakteristik  dan implikasi yang berbeda dalam prosespendidikan.

Read Full Post »

A. TUJUAN

Setelah mengikuti perkuliahan, mahasiswa diharapkan mampu memahami dan mengaplikasikan asumsi-asumsi filosofis  Pendidikan Nasional Indonesia.

 

B. DESKRISI MATERI

Landasan filosofis pendidikan nasional adalah Pancasila sebagaimana termaktub dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945.

Metafisika: Segala sesuatu berasal dari Tuhan YME  sebagai pencipta.  Hakekat hidup bangsa Indonesia  adalah berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa  dan  perjuangan yang didorong oleh keinginan luhur untuk mencapai dan mengisi kemerdekaan. Selanjutnya yang menjadi keinginan luhur yaitu: a. negara Indonesia yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur; b. melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah indonesia; c. memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa; d. ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial.

 

Manusia: Manusia adalah ciptaan Tuhan YME. Manusia bersifat mono-dualisme, dan mono-pluralisme. Manusia yang dicita-citakan adalah manusia seutuhnya. yaitu manusia yang mencapai keselarasan dan keserasian dalam kehidupan spiritual dan keduniawian, individu dan sosial, fisik dan kejiwaan.

 

Pengetahuan: Pengetahuan diperoleh melalui pengalaman, pemikiran dan penghayatan.

 

Nilai: Perbuatan manusia diatur oleh nilai-nilai yang bersumber dari Tuhan, kepentingan umum dan hati nurani.

 

Tujuan Pendidikan: Pendidikan Nasional bertujuan mencerdaskan kehidupan bangsa dan mengembangkan manusia Indonesia seutuhnya, yaitu manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa dan berbudi pekerti luhur, memiliki pengetahuan dan keterampilan, kesehatan jasmani dan rohani, kepribadian yang mantap dan mandiri serta rasa tanggung jawab kemasyarakatan dan kebangsaan.

 

Kurikulum/isi Pendidikan:  kurikulum berisi pendidikan umum, pendidikan akademik, pendidikan kejuruan, pendidikan luar biasa, pendidikan kedinasan, pendidikan keagamaan, pendidikan akademik, dan pendidikan profesional.

Metode: Mengutamakan Cara Belajar Siswa Aktif (CBSA)  dan penghayatan. Berbagai metode dapat dipilih dan dipergunakan dalam rangka mencapai tujuan.

 

Peranan Pendidik dan Peserta didik: Peranan pendidik dan peserta didik pada dasarnya berpegang pada prinsip: ing ngarso sung tulodo, ing madya mangun karso, tut wuri handayani.

Read Full Post »

A. TUJUAN

Setelah mengikuti perkuliahan, mahasiswa diharapkan mampu memahami dan mengkritisi asumsi-asumsi filsafat pendidikan Pragmatisme.

 

B. DESKRISI MATERI

Metafisika: Pragmatisme anti metafisika. Suatu teori umum tentang kenyataan tidaklah mungkin dan tidak perlu. Kenyataan yang sebenarnya adalah kenyataan fisik, plural dan berubah (becoming).

 

Manusia: manusia adalah hasil evolusi biologis, psikologis dan sosial.  setiap orang lahir tidak dewasa, tak berdaya, tanpa dibekali dengan bahasa, keyakinan-keyakinan, gagasan-gagasan atau norma-norma sosial.

 

Pengetahuan: Pengetahuan yang benar diperoleh melalui pengalaman dan berpikir (scientific method).  Pengetahuan adalah relatif. Pengetahuan yang benar adalah yang berguna dalam kehidupan (instrumentalisme).

 

Nilai: Ukuran tingkah laku individual dan sosial ditentukan secara eksperimental dalam pengalaman hidup. Jika hasilnya berguna tingkah laku tersebut adalah baik (eksperimentalisme), karena itu nilai bersifat relatif dan kondisional.

 

Tujuan Pendidikan: Pendidikan adalah pertumbuhan sepanjang hayat, proses rekonstruksi yang berlangsung terus menerus dari pengalaman yang terakumulasi dan sebuah proses sosial. Tujuan pendidikan tidak ditentukan dari luar dan tidak ada tujuan akhir pendidikan.  Tujuan pendidikan adalah memperoleh pengalaman yang berguna untuk mampu memecahkan masalah-masalah baru dalam kehidupan individual maupun sosial.

 

Kurikulum/Isi Pendidikan: Kurikulum berisi pengalaman-pengalaman yang telah teruji, yang sesuai dengan minat dan kebutuhan siswa, tidak memisahkan pendidikan liberal dan pendidikan praktis. Kurikulum mungkin berubah, warisan-warisan sosial dari masa lalu tidak menjadi fokus perhatian. Pendidikan terfokus pada kehidupan yang baik pada saat ini dan masa datang bagi individu, dan secara bersamaan masyarakat dikembangkan. Kurikulum bersifat demokratis.

 

Metode: Mengutamakan metode pemecahan masalah, penyelidikan, dan penemuan.

 

Peranan Pendidik dan Peserta didik:  Peranan pendidik adalah memimpin dan membimbing peserta didi belajar tanpa ikut campur terlalu atas minat dan kebutuhan siswa. Sedangkan peserta didik berperan sebagai organisme yang rumit yang mampu tumbuh.

Read Full Post »

A. TUJUAN

Setelah mengikuti perkuliahan, mahasiswa diharapkan mampu memahami dan mengkritisi asumsi-asumsi filsafat pendidikan Realisme.

 

B. DESKRIPSI MATERI

Metafisika:  Para filosof Realisme umumnya memandang dunia dalam pengertian materi. Dunia terbentuk dari kesatuan-kesatuan yang nyata, substansial dan material, hadir dengan sendirinya, dan satu dengan yang lainnya tertata dalam hubungan-hubungan yang teratur di luar campur tangan manusia.

 

Manusia: Hakikat manusia terletak pada apa yang dikerjakannya. Pikiran atau jiwa merupakan suatu organisme yang sangat rumit yang mampu berpikir. Manusia bisa bebas atau tidak bebas.

 

Pengetahuan: Pengetahuan diperoleh manusia melalui pengalaman dria dan penggunaan akal sehat. Dunia yang hadir tidak tergantung pada pikiran, atau pengetahuan manusia tidak dapat mengubah esensi realitas (principle of independence). Uji kebenaran pengetahuan didasarkan atas teori korespondensi.

 

Nilai: Tingkah laku manusia diatur oleh hukum alam dan pada taraf yang lebih rendah diatur oleh kebijaksanaan yang telah teruji.

 

Tujuan Pendidikan: Pendidikan bertujuan untuk penyesuaian diri dalam hidup dan mampu melaksanakan tanggung jawab sosial.

 

Kurikulum/Isi Pendidikan: Kurikulum harus bersifat komprehensif yang berisi sains, matematika, ilmu-ilmu kemanusiaan dan ilmu sosial, serta nilai-nilai. Kurikulum mengandung unsur-unsur pendidikan liberal dan pendidikan praktis. Kurikulum diorganisasi menurut mata pelajaran (subject matter) dan berpusat pada materi pelajaran (subject centered).

 

Metode: Metode hendaknya bersifat logis dan psikologis. Pembiasaan merupakan metode utama bagi penganut Realisme.

 

Peranan Pendidik dan Peserta didik:  Pendidik adalah pengelola kegiatan belajar mengajar (clasroom is teacher-centered). Pendidik harus menguasai pengetahuan yang mungkin berubah, menguasai keterampilan teknik-teknik mengajar dengan kewenangan menuntut prestasi siswa. Sedangkan peserta didik berperan untuk menguasai pengetahuan, taat pada aturan dan berdisiplin.

Read Full Post »

A. TUJUAN

Setelah mengikuti perkuliahan, mahasiswa diharapkan mampu memahami dan mengkritisi asumsi-asumsi filosofis pendidikan Idealisme.

 

B. DESKRIPSI MATERI

Metafisika: Para filosof Idealisme mengklaim bahwa realitas hakikatnya bersifat spiritual daripada bersifat fisik, bersifat mental daripada material.

 

Manusia: Manusia adalah makhluk spiritual. Manusia merupakan makhluk yang cerdas dan bertujuan. Pikiran manusia diberkahi kemampuan rasional dan karena itu mampu menentukan pilihan.

 

Pengetahuan: Pengetahuan diperoleh manusia dengan cara mengingat kembali atau berpikir dan melalui intuisi.  Kebenaran mungkin diperoleh manusia yang mempunyai pikiran yang baik, kebanyakan orang hanya sampai pada tingkat pendapat. Uji kebenaran pengetahuan didasarkan pada teori koherensi atau konsistensi.

 

Nilai: Manusia diperintah oleh nilai moral imperatif yang bersumber dari realitas yang absolut  atau yang diturunkan dari realitas yang sebenarnya (Idealisme Theistik: Tuhan ;  Idealisme Pantheistik: Alam).

Nilai bersifat absolut dan tidak berubah.

 

Tujuan Pendidikan: Pembentukan karakter, pengembangan bakat insani, dan kebajikan sosial.

 

Kurikulum/Isi Pendidikan: Pengembangan kemampuan berpikir melalui pendidikan liberal, penyiapan keterampilan bekerja sesuatu mata pencaharian melalui pendidikan praktis.

 

Metode Pendidikan: Metode yang diutamakan adalah metode dialektik, namun demikian tiap metode yang mendorong belajar dapat diterima, dan cenderung mengabaikan dasar-dasar phisiologis untuk belajar

 

Peranan Pendidik dan Peserta didik : Pendidik bertanggung jawab untuk menciptakan lingkungan pendidikan bagi peserta didik. Pendidik harus unggul agar dapat menjadi teladan baik dalam hal moral maupun intelektual. Sedangkan peserta didik bebas mengembangkan kepribadian dan bakatnya, bekerja sama, dan mengikuti proses alami dari perkembangan insani.

Read Full Post »

A. TUJUAN

Setelah mengikuti perkuliahan, mahasiswa diharapkan dapat memahami manusia dalam berbagai dimensinya serta implikasinya terhadap pendidikan.

 

B. DESKRIPSI MATERI

  1. Sosok Manusia dalam Berbagai Dimensinya

Manusia adalah makhluk Tuhan YME. Hal ini jelas bagi kita atas dasar keimanan; dalam  konteks filsafat hal ini didasarkan pada argumen kosmologis; sedangkan secara faktual terbukti dengan adanya fenomena kemakhlukan yang dialami manusia.

Manusia adalah kesatuan badani-rohani. Sebagai kesatuan badani-rohani, manusia hidup dalam ruang dan waktu,  sadar akan diri dan lingkungannya, mempunyai berbagai kebutuhan, insting, nafsu, serta tujuan hidup.

Manusia memiliki potensi untuk beriman dan bertaqwa kepada Tuhan YME, berbuat baik, cipta, rasa, karsa, dan berkarya. 

Dalam eksistensinya manusia memiliki dimensi individualitas, sosialitas, kultural, moralitas, dan religius. Adapun semua itu menunjukkan adanya dimensi interaksi atau komunikasi, historisitas, dan dimensi dinamika.

Dimensi historisitas menunjukan bahwa eksistensi manusia saat ini terpaut pada masa lalunya sekaligus mengarah ke masa depan untuk mencapai tujuan hidupnya.  Ia berada dalam perjalanan hidup, perkembangan dan pengembangan diri. Ia memang lahir sebagai manusia tetapi belum selesai mewujudkan diri sebagai manusia.

Idealnya manusia mampu memenuhi berbagai kebutuhannya secara wajar, hidup sehat, mampu mengendalikan insting dan hawa nafsunya, serta mampu mewujudkan berbagai potensinya secara optimal ; bebas,  bertanggung jawab serta mampu mewujudkan  peranan  individualnya, mampu melaksanakan peranan-peranan sosialnya, berbudaya, bermoral serta beriman dan bertaqwa kepada Tuhan YME. Sehingga dengan demikian ia mampu berinteraksi atau berkomunikasi secara mono-multi dimensi, serta terus menerus secara sungguh-sungguh menyempurnakan diri sebagai manusia untuk mencapai tujuan hidupnya (dunia-akhirat).

  1. Manusia sebagai Makhluk yang Perlu Dididik dan Dapat Dididik

Setelah kelahirannya, manusia tidak dengan sendirinya mampu menjadi manusia.  Untuk menjadi manusia, ia perlu dididik dan mendidik diri.  Sehubungan dengan ini M.J. Langeveld  (1980) menyebut manusia sebagai Animal Educandum.

Ada tiga prinsip antropologis yang mendasari perlunya manusia mendapatkan pendidikan dan mendidik diri, yaitu: (1) prinsip historisitas, (2) prinsip idealitas, dan (3) prinsip faktual/posibilitas.

Kesimpulan bahwa manusia perlu dididik dan mendidik diri, mengimplikasikan bahwa manusia dapat dididik.  Sehubungan dengan ini, M.J. Langeveld (1980) juga menyebut manusia sebagai Animal Educabile.

Ada lima prinsip antropologis yang mendasari bahwa manusia dapat dididik yaitu: (1) prinsip potensialitas, (2) prinsip dinamika, (3) prinsip individualitas, (4) prinsip sosialitas, dan (5) prinsip moralitas.

 

Pendidikan sebagai Humanisasi

Sebagaimana dinyatakan Karl Jaspers, bahwa  “to be a man is to become a man”, sedangkan untuk menjadi manusia, manusia perlu didik dan mendidik diri, implikasinya maka pendidikan harus befungsi memanusiakan manusia. Pendidikan adalah humanisasi.

Sebagai Humanisasi, pendidikan hendaknya dilaksanakan untuk membantu perealisasian/pengembangan berbagai potensi manusia, yaitu potensi untuk mampu: beriman dan bertaqwa tehadap Tuhan YME, berbuat baik, hidup sehat, potensi cipta, rasa, karsa dan  karya. Semua itu harus dikembangkan secara menyeluruh dan terintegrasi dalam konteks kehidupan keberagamaan, moralitas, individualitas, sosialitas dan kultural. Dalam hal ini, pendidikan hendaknya dilaksanakan sepanjang hayat. Selain itu, materi dan cara-cara pelaksanaan pendidikan perlu dipilih atas dasar asumsi tentang hakikat manusia dan tujuan pendidikan yang diturunkan daripadanya.

Read Full Post »

A. TUJUAN

Setelah mengikuti perkuliahan, mahasiswa diharapkan dapat memahami ilmu pendidikan, praktek pendidikan sebagai aplikasi ilmui pendidikan, dan pendidikan sebagai seni.  

 

B. DESKRIPSI MATERI

Studi ilmiah antara lain telah menghasilkan ilmu pendidikan. Orang dapat menjadi pendidik (khususnya pendidik profesional) dengan mempelajari ilmu pendidikan. Dalam praktek pendidikan diaplikasikan ilmu pendidikan, tetapi praktek pendidikan juga adalah seni.

 

Definisi, Karakteristik dan Klasifikasi Ilmu.

Istilah ilmu berasal dari  kata alima (bahasa Arab) yang berarti pengetahuan. Di dalam bahasa Latin dikenal pula kata scire yang juga berarti pengetahuan. Ada berbagai jenis pengetahuan, jenis pengetahuan dikelompokan orang menjadi: revealed knowledge, intuitif knowledge, rational knowledge, empirical knowledge, dan authoritative knowledge; di pihak lain ada juga yang mengelompokan jenis pengetahuan menjadi: commonsense knowledge, scientific knowledge, philosophical knowledge, dan religious knowledge. Secara etimologis ilmu adalah pengetahuan,  karena itu semua pengetahuan tersebut di atas adalah ilmu.

Secara substansial dan operasional ilmu menunjuk kepada tiga hal, yaitu: (1) bodies of knowledge, (2) a body of systematic knowledge, dan (3) scientific method. Ilmu mengandung arti cara kerja ilmiah dan hasil kerja ilmiah. Ilmu adalah pengetahuan ilmiah yang dihasilkan melalui metode ilmiah.

Ilmu memiliki karakteristik sebagai berikut:

  1. Objek studi ilmu meliputi berbagai hal sebatas yang dapat dialami manusia. Setiap ilmu memiliki objek material dan objek formal. Beberapa disiplin ilmu mungkin memiliki objek material yang sama, tetapi setiap disiplin ilmu mempunyai objek formal yang berbeda. Objek studi setiap disiplin ilmu bersifat spesifik.
  2. Metode ilmiah adalah prosedur pemecahan masalah yang cermat dan terencana. Metode ilmiah merupakan gabungan dari pendekatan rasional dan empiris. Kerangka studinya merupakan proses logico-hypotetico-verifikasi, atau menggunakan kerangka berpikir deduktif-induktif (scientific method). Namun demikian,  metode ilmiah dapat bersifat kuantitatif dan atau kualitatif.
  3. Isi ilmu dapat berupa konsep, aksioma, postulat, prinsip, hukum teori, dan model. Dalam hal ini isi ilmu bersifat objektif, deskriptif, dan disajikan secara rinci dan sistematis.
  4. Fungsi ilmu adalah menjelaskan, memprediksikan, dan mengon-trol.

Berbagai jenis ilmu antara lain diklasifikasikan orang ke dalam: natural sciences (naturwissenschaften), dan human sciences (geisteswissenschaften). Klasifikasi lain adalah: natural sciences, social sciences, behavioral sciences, dan formal sciences. Ada pula yang mengklasifikasikan ilmu menjadi: ilmu murni dan ilmu terapan.

Definisi, Karakteristik dan Klasifikasi Ilmu Pendidikan.

Ilmu penididkan adalah sistem pengetahuan tentang fenomena pendidikan yang dihasilkan melalui riset dengan menggunakan metode ilmiah.

Ilmu pendidikan memiliki karakteristik sebagai berikut:

  1. Objek Studi: Objek material ilmu pendidikan adalah manusia (manusia sebagai makhluk Tuhan yang berbeda hakiki dengan benda, tumbuhan dan hewan); sedangkan objek formalnya adalah fenomena pendidikan, yaitu fenomena mendidik dan fenomena lain yang berhubungan dengan kegiatan mendidik.
  2. Metode: Ilmu pendidikan mengguanakan metode kualitatif dan atau metode kuantitatif. Penggunaan metode tersebut tergantung pada masalah atau objek penelitiannya.
  3. Isi Ilmu Pendidikan: Sebagaimana ilmu-ilmu lainnya, ilmu pendidikan dapat berupa konsep, aksioma, postulat, prinsip, hukum, teori, dan model. Dalam hal ini  ilmu pendidikan bersifat objektif, deskriptif, preskriptif (normatif), yang disajikan secara rinci dan sistematis. Ilmu pada umumnya bersifat deskriptif, tetapi ilmu pendidikan tidak hanya bersifat deskriptif, melainkan juga preskriptif/normatif.
  4. Fungsi ilmu pendidikan: menjelaskan, memprediksi, dan mengontrol.
  5. Ilmu pendidikan menggunakan ilmu-ilmu lain sebagai ilmu bantu. Sekalipun demikian, menurut M.J. Langeveld (1980), sebagai ilmu yang bersifat otonom ilmu pendidikan berperan sebagai “tuan rumah”, sedangkan ilmu-ilmu lain merupakan “tamu”nya.

M.J. Langeveld mengklasifikasi ilmu pendidikan (Ilmu Mendidik) terbagi atas:

a. Ilmu Mendidik Teoritis, yang meliputi:

1) Ilmu Mendidik Sistematis.

2) Sejarah Pendidikan.

3) Ilmu Perbandingan Pendidikan.

b. Ilmu Mendidik Praktis, yang meliputi:

1) Didaktik/Metodik.

2) Pendidikan dalam Keluarga.

3) Pendidikan Gereja (Lembaga Keagamaan).

Sedangkan Redja Mudyahardjo (2001) mengklasifikasi Ilmu Pendidikan sebagai berikut:

a. Ilmu Pendidikan Makro:

1) Ilmu Pendidikan administratif.

2) Ilmu Pendidikan Komparatif.

3) Ilmu Pendidikan Historis.

4) Ilmu Pendidikan Kependudukan.

b. Ilmu Pendidikan Mikro:

1) Ilmu Mendidik Umum yang meliputi:

a) Pedagogik Teoritis.

b) Ilmu Pendidikan Psikologis.

c) Ilmu Pendidikan Sosiologis.

d) Ilmu Pendidikan Antropologis.

e) Ilmu Pendidikan Ekonomik.

2) Ilmu Mendidik Khusus:

– Ilmu Persekolahan.

– Ilmu Pendidikan Luar Sekolah.

– Ilmu Pendidikan Luar Biasa/Orthopedagogik.

 

Pendidikan (Mendidik) sebagai Seni

Pendidikan antara lain  dapat dipelajari melalui ilmu pendidikan, namun demikian pendidikan (praktek pendidikan atau mendidik) juga adalah seni. Alasanya bahwa praktek pendidikan  melibatkan perasaan dan nilai yang sebenarnya di luar daerah ilmu(ilmu yang berparadigma positivisme). Sehubungan dengan itu, Gilbert Highet (1954) mengibaratkan praktek pendidikan sebagaimana orang melukis sesuatu, mengarang lagu, menata sebuah taman bunga, atau menulis surat untuk sahabat. Sedangkan menurut Gallagher (1970) seni mendidik itu  merupakan: (1) keterampilan jenius yang hanya dimiliki beberapa orang; dan (2) mereka tidak dapat  menjelaskan secara sistematis bagaimana mereka mempraktekan keterampilan itu.

Praktek pendidikan diakui sebagai seni, impilkasinya fungsi mendidik yang utama adalah menghasilkan suatu karya yang utuh, unik, sejati (bukan pura-pura atau dibuat-buat, anak tidak boleh dikorbankan sebagai kelinci percobaan), dan tiap pihak memperoleh manfaat. Selain itu, pendidik harus kreatif , skenario atau persiapan mengajar hanya dijadikan rambu-rambu saja, yang lebih penting adalah improvisasi. Pendidik harus memperhatikan minat, perhatian, dan hasrat anak didik.

 

Pengakuan pendidikan sebagai seni, tidak harus menggoyahkan pengakuan bahwa pendidikan dapat dipelajari secara ilmiah. Idealnya, pendidikan adalah aplikasi ilmu (ilmu pendidikan) tetapi sekaligus pula adalah seni.

Read Full Post »

A. TUJUAN

Setelah mengikuti perkuliahan, mahasiswa diharapkan dapat memahami pendidikan menurut tinjauan Pedagogik (berdasarkan pedekatan fenomenologis).

B. DESKRIPSI MATERI

Berdasarkan sudut pandang pedagogik, sebagaimana dikemukakan M.J. Langeveld (1980) dapat disimpulkan bahwa pendidikan atau mendidik adalah suatu upaya orang dewasa yang dilakukan secara sengaja untuk membantu anak atau orang yang belum dewasa agar mencapai kedewasaan.

Pendidikan berlangsung dalam pergaulan antara orang dewasa  dengan anak  atau orang yang belum dewasa  dalam suatu lingkungan. Karena pendidikan itu diupayakan secara sengaja, maka dalam hal ini pendidik tentunya telah memiliki tujuan pendidikan. Untuk mencapai tujuan tersebut pendidik memilih isi pendidikan tertentu dan menggunakan alat pendidikan tertentu pula. Dari uraian di atas, dapat diidentifikasi adanya enam unsur yang terlibat dalam  pendidikan atau pergaulan pendidikan, yaitu: (1) tujuan pendidikan, (2) pendidik, (3) anak didik,  (4) isi pendidikan, (5) alat pendidikan, (6) lingkungan pendidikan.

Pendidikan berlangsung dalam pergaulan antara orang dewasa dengan anak atau orang yang belum dewasa, namun belum tentu setiap pergaulan demikian tergolong pendidikan. Agar pergaulan tersebut tergolong pendidikan, ada dua sifat yang harus dipenuhi, yaitu (1) adanya pengaruh dari orang dewasa yang dilakukan secara sengaja terhadap anak didik atau orang yang belum dewasa; dan

(2) pengaruh itu bertujuan agar anak atau oarng yang belum dewasa mencapai kedewasaan.

Ada dua sifat yang harus diperhatikan dalam  pergaulan pendidikan, yaitu :

(1) wajar, dan (2) tegas.

Pengubahan situasi pergaulan biasa menjadi pergaulan pendidikan hendaknya bersifat wajar agar peserta didik relatif tidak merasakan perubahan tersebut. Dengan demikian, pengaruh pendidik akan diterima peserta didiksecara wajar pula. Jika tidak demikian ada kemungkinan peserta didik akanmenghindar atau menutup diri. Di pihak lain, dalam pergaulan pendidikan harus tegas (jelas) tentang apa yang baik dan tidak baik, benar atau salah, dsb. Pergaulan pendidikan harus didasarkan atas kewibawaan, yaitu suatu kekuatan atau kelebihan pendidik yang diakui dan diterima oleh anak didik sehingga ia atas dasar kebebasannya menuruti pengaruh pendidik. Faktor penentu kewibawaan pendidik adalah: (1) kasih sayang pendidik terhadap anak didik atau orang yang belum dewasa, (2) kepercayaan pendidik bahwa anak didiknya/ orang yang belum dewasa akan mampu mencapai kedewasaan, (3) kedewasaan pendidik, (4) Identifikasi terhadap anak didik, dan (5) tanggung jawab pendidikan. Di pihak lain factor penentu kepenurutan anak didik terhadap pendidik adalah: (1) kemampuan anak/orang yang belum dewasa dalam memahami bahasa, (2) kepercayaan anak didik/orang yang belum dewasa kepada pendidik, (3) identifikasi, (4) imitasi, (5) simpati dan kebebasan anak didik dalam menentukan sikap, tindakan dan masa depannya.

–          Kewibawaan adalah syarat mutlak (conditio sine qua non) bagi pendidikan. Alasannya, jika pergaulan pendidikan tidak didasarkan atas kewibawaan, maka:

–          Pengaruh pendidik akan dituruti oleh anak didik/orang yang belum dewasa hanya atas dasar “pengaruh keterikatannya kepada pendidiknya”. Karena itu anak didik/orang yang belum dewasa  tidak akan pernah mencapai kedewasaan, ia akan tetap tak terdidik.

–          Kepenurutan anak didik/orang yang belum dewasa kepada pendidik akan terjadi berkat pemahaman anak atas pengalamannya sendiri, jika demikian halnya berarti ia sudah mandiri (dewasa), dan ini bertentangan dengan keadaan yang sesungguhnya sebagai orang yang belum dewasa yang sesungguhnya.

Berdasarkan uraian di atas,  dapat dipahami bahwa:

–          Pendidikan dimulai (batas bawah pendidikan) sejak anak/orang dewasa mengenal kewibawaan, adapun anak mampu mengenal kewibawaan adalah ketika ia mampu memahami bahasa. Sedangkan batas atas atau akhir pendidikan adalah saat tercapainya tujuan pendidikan, yaitu kedewasaan.

–          Tanggung jawab pada awalnya berada pada pendidik, tetapi seiring perkembangan kedewasaan anak didik/orang yang belum dewasa, tanggung jawab itu dialihkan atau diambil alih oleh anak didik/orang yang belum dewasa hingga ia bertanggung jawab (dewasa).

–          Bahwa kewibawaan itu bersifat bipolaritet.

Read Full Post »

A. TUJUAN

Setelah mengikuti perkuliahan, mahasiswa diharapkan dapat memahami pendidikan sebagai  sistem.

 

B. DESKRIPSI MATERI

Pendekatan sistem merupakan aplikasi pandangan sistem (system view or system thinking) dalam upaya memahami sesuatu atau memecahkan suatu permasalahan. Apabila kita mengaplikasikan pendekatan sistem dalam mempelajari pendidikan, maka dapat  didefinisikan bahwa pendidikan adalah suatu keseluruhan yang terpadu dari sejumlah komponen yang saling berinteraksi dan melaksanakan fungsi-fungsi tertentu dalam rangka mencapai tujuan pendidikan.

Ditinjau dari asal-usul kejadiannya, pendidikan tergolong ke dalam jenis sistem buatan manusia (a man made system); ditinjau dari wujudnya, tergolong ke dalam jenis sistem sosial; sedangkan ditinjau dari segi hubungan dengan lingkungannya, tergolong ke dalam jenis sistem terbuka.

Pendidikan (sistem pendidikan) berada dalam suatu supra sistem, yaitu masyarakat. Selain sistem pendidikan, di dalam masyarakat terdapat pula berbagai sistem lainnya seperti: sistem ekonomi, sistem politik, sistem petahanan dan keamanan, dll.  Karena sistem pendidikan merupakan sistem terbuka, maka sistem pendidikan mengambil masukan (input) dari masyarakat dan memberikan hasilnya/luaran (out put) kepada masyarakat. Sistem pendidikan memiliki ketergantungan kepada sistem-sistem lainnya, dan terdapat saling hubungan atau saling pengaruh antar sistem pendidikan  dengan sistem-sistem lainnya yang ada di dalam masyarakat.

 Sebagaimana dikemukakan Philiph H. Coombs, ada tiga jenis sumber utama input dari masyarakat bagi sistem pendidikan, yaitu:

1. Ilmu pengetahuan,  tujuan-tujuan dan nilai-nilai yang berlaku di dalam masyarakat.

2. Penduduk serta tenaga kerja yang tersedia.

3. Ekonomi atau penghasilan masyarakat.

 

Terhadap ketiga sumber utama input sistem pendidikan tersebut, dilakukan seleksi berdasarkan tujuan, kebutuhan, efisiensi dan relevansinya bagi pendidikan. Selain itu, seleksi dilakukan pula atas dasar nilai dan norma tertentu dengan alasan bahwa pendidikan bersifat normatif. Hasil seleksi tersebut selanjutnya diambil atau diterima sebagai input sistem pendidikan.

Input sistem pendidikan dibedakan dalam tiga jenis, yaitu:

  1. Input mentah (raw input), yaitu peserta didik.
  2. Input alat (instrumental input) seperti: kurikulum, pendidik, dll.
  3. Input lingkungan (environmental input) seperti: keadaan cuaca, situasi keamanan masyarakat dll. yang secara langsung maupun tidak langsung dapat mempengaruhi proses pendidikan.

 Berbagai jenis input pendidikan terseleksi sebagaimana dikemukakan di atas, selanjutnya  akan membentuk komponen-komponen pendidikan atau berbagai sub sistem pendidikan. Dalam hal ini dilakukan diferensiasi sehingga setiap komponen memiliki fungsi-fungsi khusus. Namun demikian, karena pendidikan adalah suatu sistem, maka pelaksanaan fungsi setiap komponen pendidikan secara keseluruhan diarahkan demi pencapaian tujuan pendidikan yang telah ditetapkan.

Philiph H. coombs mengidentifikasi 12 komponen sistem pendidikan, yaitu:

  1. Tujuan dan prioritas. Fungsinya adalah memberikan arah kegiatan sistem.
  2. Peserta didik (siswa). Fungsinya adalah belajar hingga mencapai tujuan pendidikan.
  3. Pengelolaan. Fungsinya adalah merencanakan, mengkoordinasikan, mengarahkan, dan menilai sistem.
  4. Struktur dan jadwal. Fungsinya adalah mengatur waktu dan mengelompokan peserta didik berdasarkan tujuan tertentu.
  5. Isi atau kurikulum. Fungsinya adalah sebagai bahan yang harus dipelajari peserta didik.
  6. Pendidik (guru). Fungsinya adalah menyediakan bahan, menciptakan kondisi belajar dan menyelenggarakan pendidikan.
  7. Alat bantu belajar. Fungsinya memungkinkan proses belajar-mengajar sehingga menarik, lengkap, bervariasi, dan mudah.
  8. Fasilitas. fungsinya sebagai tempat terselenggaranya pendidikan.
  9. Pengawasan mutu. Fungsinya membina peraturan-peraturan dan standar pendidikan (peraturan penerimaan peserta didik, pemberian nilai ujian, kriteria baku.

10. Teknologi. Fungsinya mempermudah atau memperlancar pendidikan.

11. Penelitian. Fungsinya mengembangkan pengetahuan, penampilan sistem dan hasil kerja sistem.

12. Biaya (ongkos pendidikan). Merupakan satuan biaya untuk memperlancar proses pendidikan.  Fungsinya sebagai petunjuk tingkat efisiensi sistem.

Dalam sistem pendidikan terjadi proses transformasi, hakikatnya adalah  proses mengubah raw input (peserta didik) agar menjadi out put (manusia terdidik sesuai tujuan pendidikan yang telah ditetapkan). Dalam hal ini semua komponen pendidikan idealnya melaksanakan fungsinya masing-masing dan berinteraksi satu sama lain yang mengarah kepada pencapaian tujuan pendidikan. Adapun out putnya diperuntukan bagi masyarakat atau sistem-sistem lain yang ada di dalam supra sistem.

Sebagaimana dikemukakan terdahulu, di dalam sistem pendidikan terdapat komponen pengawasan mutu (kontrol kualitas). Pelaksanaan fungsinya antara lain akan menghasilkan feedback yang digunakan untuk melakukan koreksi atau perbaikan dalam proses transformasi berikutnya. Sehingga dengan demikian diharapkan sistem pendidikan tersebut mampu mengatasi entropi atau mampu mempertahankan eksistensi dan meningkatkan pretasinya.

Read Full Post »

A. TUJUAN

Setelah mengikuti perkuliahan, mahasiswa diharapkan memahami  pengertian pendidikan berdasarkan lingkupnya (luas dan sempit), serta  berbagai definisi pendidikan berdasarkan pendekatan disiplin-disiplin ilmu tertentu. 

 

B. DESKRIPSI  MATERI

Berdasarkan lingkupnya, pendidikan dapat diartikan secara luas dan sempit.

 

Pendidikan dalam Arti Luas

Dalam arti luas, hidup adalah pendidikan, dan pendidikan adalah hidup (life is education, and education is life). Maksudnya bahwa pendidikan adalah segala pengalaman hidup (belajar) dalam berbagai lingkungan yang berlangsung sepanjang hayat dan berpengaruh positif bagi pertumbuhan atau perkembangan individu.

 

Dalam arti luas, pendidikan memiliki karakteristik sebagai berikut:

–          Tujuan pendidikan sama dengan tujuan hidup individu,  tidak ditentukan oleh orang lain, 

–          Pendidikan berlangsung kapan pun, artinya berlangsung sepanjang hayat (life long education). Karena itu pendidikan berlangsung  dalam konteks hubungan individu yang bersifat multi dimensi, baik dalam hubungan individu dengan Tuhannya, sesama manusia, alam,  bahkan dengan dirinya sendiri.

–          Dalam hubungan yang besifat multi dimensi itu, pendidikan berlangsung melalui berbagai bentuk kegiatan, tindakan, dan kejadian, baik yang pada awalnya disengaja untuk pendidikan maupun yang tidak disengaja untuk pendidikan.

–          Pendidikan berlangsung bagi siapa pun. Setiap individu – anak-anak atau pun orang dewasa, siswa/mahasiswa atau pun bukan siswa/mahasiswa – dididik atau mendidik diri.

–          Pendidikan berlangsung dimana pun. Pendidikan tidak terbatas pada schooling saja. Pendidikan berlangsung di dalam keluarga, sekolah,  masyarakat, dan di dalam lingkungan alam dimana individu berada. Pendidik  bagi individu tidak terbatas pada pendidik profesional.

 

Pendidikan dalam Arti Sempit

Dalam arti sempit, pendidikan dalam prakteknya identik dengan persekolahan (schooling), yaitu pengajaran formal di bawah kondisi-kondisi yang terkontrol.

Dalam arti sempit, pendidikan memiliki karakteristik sebagai berikut:

  1. Tujuan pendidikan dalam arti sempit ditentukan oleh pihak luar individu peserta didik. Sebagaimana kita maklumi, tujuan pendidikan   suatu sekolah atau tujuan pendidikan suatu kegiatan belajar-mengajar di sekolah tidak dirumuskan dan ditetapkan oleh para siswanya.
  2. Lamanya waktu pendidikan bagi setiap individu dalam masyarakat cukup bervariasi, mungkin kurang atau sama dengan enam tahun, sembilan tahun bahkan lebih dari itu. Namun demikian terdapat titik terminal pendidikan yang ditetapkan dalam satuan waktu.

Pendidikan dilaksanakan di sekolah atau di dalam lingkungan khusus yang diciptakan  secara sengaja untuk pendidikan dalam konteks program pendidikan sekolah.

Dalam pengertian sempit, pendidikan hanyalah bagi mereka yang menjadi peserta didik (siswa/mahasiswa) dari suatu lembaga pendidikan formal (sekolah/perguruan tinggi).

Pendidikan dilaksanakan dalam bentuk kegiatan belajar-mengajar yang terprogram dan bersifat formal atau disengaja untuk pendidikan dan terkontrol.

Dalam pengertian sempit, pendidik bagi para siswa terbatas pada pendidik profesional atau guru.

 

Pengertian Pendidikan berdasarkan pendekatan Monodisipliner

Setiap disiplin ilmu memiliki objek formal yang berbeda. 

–          Berdasarkan hasil studi terhadap objek formalnya masing-masing, setiap disiplin ilmu menghasilkan perbedaan pula mengenai konsep atau definisi yang identik dengan pendidikan.

–          Berdasarkan pendekatan sosiologi, pendidikan identik dengan sosialisasi (socialization).

–          Berdasarkan pendekatan antropologi, pendidikan identik dengan enkulturasi (enculturation).

–          Berdasarkan pendekatan ekonomi, pendidikan identik dengan penanaman modal pada diri manusia (human investment).

–          Berdasarkan pendekatan politik, pendidikan identik dengan civilisasi (civilization).

–          Berdasarkan pendekatan psikologis, pendidikan identik dengan personalisasi atau individualisasi (personalization atau individualization).

–          Berdasarkan pendekatan biologi, pendidikan identik dengan adaptasi (adaptation).

Read Full Post »

Older Posts »